Ada satu jenis manis yang tak dijual di minimarket: sugar coating. Lapisan gula dalam percakapan yang sengaja ditaburkan demi terlihat sopan, aman, atau... disukai atasan. Di banyak ruang kerja, ia bukan lagi kebiasaan, tapi sudah menjadi budaya.
Dan seperti semua budaya yang terlalu lama dibiarkan, kita lupa kapan terakhir kali menolaknya.
Saya menyaksikan sendiri betapa cepatnya sugar coating menjalar di ruang kerja. Ia hadir dalam bentuk kalimat-kalimat pujian tanpa makna, tawa yang dipaksakan, atau pengakuan "kami hanya belajar dari Bapak/Ibu" yang diulang-ulang seperti mantra. Ironisnya, di banyak kantor, perilaku semacam itu bukan hanya diterima. Tapi dirayakan.
Siapa pun yang pandai mengemas kata-kata manis dianggap "komunikatif". Siapa yang tahu waktu untuk memuji dianggap "beretika". Sementara mereka yang memilih berkata apa adanya, tanpa polesan, sering dicap "kurang diplomatis", "anti-sosial", bahkan "tidak tahu tempat".
Kita yang duduk di pinggir, menonton semua itu, hanya bisa saling pandang lalu tertawa getir. Karena lama-lama, yang tidak ikut menabur gula justru dianggap aneh. Dan kita pun mulai bertanya diam-diam dalam hati: jangan-jangan, untuk bisa bertahan, kita juga harus belajar berbohong dengan nada manis?
Puja-Puji yang Kehilangan Makna
Pernah suatu kali, saya menyaksikan seseorang memuji atasan karena hal-hal sepele: "Wah, luar biasa, Pak, paparannya keren banget!"
Kalimat itu diucapkan dengan wajah serius, tanpa sedikit pun rasa humor.
Dan si atasan? Tersenyum puas, seolah materi paparan adalah inovasi abad ini.
Saat itu, saya ingin tertawa, tapi yang keluar justru rasa miris.
Bukan karena pujiannya, tapi karena ekspresi tulus di wajah sang pemuji. Ia benar-benar meyakini bahwa itu adalah cara berkomunikasi yang tepat. Cara agar tetap aman di sistem yang menganggap kejujuran sebagai risiko.
Fenomena ini menciptakan kelas baru di dunia kerja: para yes man!. Orang-orang yang refleksnya selalu "setuju", apa pun isi pembicaraannya. Mereka tidak berdebat, tidak mengkritik, hanya memperindah kalimat orang lain. Dalam sistem seperti ini, kompetensi bukan lagi ukuran, loyalitas manis adalah kunci.
 Budaya yang Menggoda dan Menular
Masalahnya, perilaku seperti ini menular. Ia mengandung daya tarik sosial.
Orang yang sering memuji biasanya cepat akrab dengan atasan, cepat dipercaya, dan sering diberi ruang bicara. Sementara mereka yang kritis, berbicara dengan data atau logika, sering kali dianggap "mengganggu suasana".