Maka, terjadilah ironi klasik: yang berpikir justru tersisih, yang menenangkan justru naik pangkat.
Dan organisasi pun pelan-pelan berubah menjadi taman bunga plastik. Indah dipandang, tapi tak berakar di tanah kenyataan.
Lama-lama, kita semua mulai terbiasa.
Kalimat-kalimat manis yang dulu terasa palsu kini terdengar "profesional".
Pujian kosong yang dulu terasa menjilat kini disebut "apresiasi".
Merendahkan diri secara berlebihan , "Ah, saya mah siapa, hanya debu di bawah tapak kepemimpinan Bapak/Ibu". Kalimat seperti ini kini disebut "rendah hati".
Ketika kepalsuan sudah diberi nama-nama indah, bagaimana cara kita melawannya?
Harga yang Kita Bayar
Budaya sugar coating mungkin tampak sepele, tapi dampaknya serius.
Pertama, ia merusak sistem komunikasi. Tidak ada lagi kritik jujur, hanya filter-filter sosial yang membuat pesan kehilangan substansi. Keputusan diambil bukan berdasarkan argumen terbaik, tapi pujian terindah.
Kedua, ia membunuh semangat berpikir kritis.
Orang berhenti menantang ide karena takut dianggap sinis. Padahal tanpa keberanian untuk tidak setuju, organisasi akan hidup dalam gema suara yang sama: semua setuju, semua memuji, semua... salah arah.
Ketiga, ia mengikis integritas pribadi.
Setiap kali kita menaburkan gula palsu, sedikit demi sedikit kita kehilangan rasa hormat terhadap diri sendiri. Kita tahu itu tidak tulus, tapi tetap mengatakannya. Demi diterima, demi aman, demi tidak dianggap "bermasalah".
Dan perlahan, kantor bukan lagi tempat bekerja, tapi panggung pertunjukan.
Kita memainkan peran masing-masing, dengan skrip yang sama: tersenyum, mengangguk, memuji. Sampai lupa siapa diri kita sebenarnya.
Berani Jujur, Tapi Tetap Hangat
Apakah artinya kita harus selalu berkata keras? Tidak.
Kebenaran tidak selalu harus disampaikan dengan marah.
Tapi kejujuran bisa. Dan seharusnya, dikatakan dengan cara yang tetap manusiawi.
Yang perlu kita rawat bukan keberanian untuk melawan, tapi kecerdasan untuk menyampaikan kebenaran tanpa kehilangan empati.
Karena kritik yang bijak tak perlu terdengar kasar, dan pujian yang tulus tak perlu dibumbui drama.