Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Communicating Life

PNS yang percaya bahwa literasi bukan cuma soal bisa baca, tapi soal mau paham. Kadang menulis serius, kadang agak nyeleneh. Yang penting: ada insight, disampaikan dengan cara yang asik, dan selalu dari kacamata ilmu komunikasi—karena di situlah saya belajar dan bekerja. Seperti kata pepatah (yang mungkin baru saja ditemukan): kalau hidup sudah terlalu birokratis, tulisan harus tetap punya nyawa.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Gula di Balik Pujian: Ketika Kepalsuan Jadi Bahasa Resmi di Kantor

6 Oktober 2025   15:26 Diperbarui: 6 Oktober 2025   15:26 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu jenis manis yang tak dijual di minimarket: sugar coating. Lapisan gula dalam percakapan yang sengaja ditaburkan demi terlihat sopan, aman, atau... disukai atasan. Di banyak ruang kerja, ia bukan lagi kebiasaan, tapi sudah menjadi budaya.

Dan seperti semua budaya yang terlalu lama dibiarkan, kita lupa kapan terakhir kali menolaknya.

Saya menyaksikan sendiri betapa cepatnya sugar coating menjalar di ruang kerja. Ia hadir dalam bentuk kalimat-kalimat pujian tanpa makna, tawa yang dipaksakan, atau pengakuan "kami hanya belajar dari Bapak/Ibu" yang diulang-ulang seperti mantra. Ironisnya, di banyak kantor, perilaku semacam itu bukan hanya diterima. Tapi dirayakan.

Siapa pun yang pandai mengemas kata-kata manis dianggap "komunikatif". Siapa yang tahu waktu untuk memuji dianggap "beretika". Sementara mereka yang memilih berkata apa adanya, tanpa polesan, sering dicap "kurang diplomatis", "anti-sosial", bahkan "tidak tahu tempat".

Kita yang duduk di pinggir, menonton semua itu, hanya bisa saling pandang lalu tertawa getir. Karena lama-lama, yang tidak ikut menabur gula justru dianggap aneh. Dan kita pun mulai bertanya diam-diam dalam hati: jangan-jangan, untuk bisa bertahan, kita juga harus belajar berbohong dengan nada manis?

Puja-Puji yang Kehilangan Makna

Pernah suatu kali, saya menyaksikan seseorang memuji atasan karena hal-hal sepele: "Wah, luar biasa, Pak, paparannya keren banget!"
Kalimat itu diucapkan dengan wajah serius, tanpa sedikit pun rasa humor.
Dan si atasan? Tersenyum puas, seolah materi paparan adalah inovasi abad ini.

Saat itu, saya ingin tertawa, tapi yang keluar justru rasa miris.
Bukan karena pujiannya, tapi karena ekspresi tulus di wajah sang pemuji. Ia benar-benar meyakini bahwa itu adalah cara berkomunikasi yang tepat. Cara agar tetap aman di sistem yang menganggap kejujuran sebagai risiko.

Fenomena ini menciptakan kelas baru di dunia kerja: para yes man!. Orang-orang yang refleksnya selalu "setuju", apa pun isi pembicaraannya. Mereka tidak berdebat, tidak mengkritik, hanya memperindah kalimat orang lain. Dalam sistem seperti ini, kompetensi bukan lagi ukuran, loyalitas manis adalah kunci.

 Budaya yang Menggoda dan Menular

Masalahnya, perilaku seperti ini menular. Ia mengandung daya tarik sosial.
Orang yang sering memuji biasanya cepat akrab dengan atasan, cepat dipercaya, dan sering diberi ruang bicara. Sementara mereka yang kritis, berbicara dengan data atau logika, sering kali dianggap "mengganggu suasana".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun