Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Communicating Life

PNS yang percaya bahwa literasi bukan cuma soal bisa baca, tapi soal mau paham. Kadang menulis serius, kadang agak nyeleneh. Yang penting: ada insight, disampaikan dengan cara yang asik, dan selalu dari kacamata ilmu komunikasi—karena di situlah saya belajar dan bekerja. Seperti kata pepatah (yang mungkin baru saja ditemukan): kalau hidup sudah terlalu birokratis, tulisan harus tetap punya nyawa.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Ketika ASN Harus Belajar Jadi Bek, Bukan Sekadar Striker: Belajar dari Isnan, dalam Novel "Bek"

22 September 2025   11:05 Diperbarui: 22 September 2025   11:05 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada awalnya, bagi saya yang awam permainan sepakbola, posisi sebagai striker adalah yang paling penting. Mereka yang bikin gol, dielu-elukan, jadi bintang iklan minuman energi. Tapi setelah membaca novel Bek karya Mahfud Ikhwan, saya jadi sedikit terkejut: ternyata ada orang yang menganggap justru menjadi bek adalah panggilan hidup. Bahkan bisa menggantikan peran ayah dan ibu yang pergi merantau demi menyambung hidup.

Isnan, tokoh utama novel itu, dengan lantang menyebut:

"Aku Isnan. Aku seorang bek. Jika Tuhan tak berkehendak lain, aku akan tetap jadi bek. Insyaallah."

Membaca itu, saya refleks. Kalau di lapangan sepakbola saja ada yang rela seumur hidup jadi bek, bagaimana dengan kita di birokrasi? Apakah tidak seharusnya kita punya lebih banyak "bek" yang setia menjaga benteng pelayanan publik, bukan sekadar striker yang sibuk mencari sorotan kamera?

Bek vs Striker: Analogi Dunia Kerja Birokrasi

Striker itu seksi. Posisinya glamor. Kalau berhasil cetak gol, semua headline menulis namanya. Mirip dengan pejabat birokrasi yang suka sekali meresmikan program, memotong pita, atau menggelar konferensi pers. Kamera selalu siap, sorak sorai selalu ada.

Bek? Ah, siapa yang peduli? Kalau dia bekerja baik, ya orang menganggap itu biasa saja. Tapi kalau sekali salah, semua orang marah. Mirip ASN di barisan tengah hingga bawah: kerjaannya tumpukan berkas, detail regulasi, validasi data. Bukan bahan berita, tapi kalau salah sedikit bisa viral dan jadi bahan meme.

Masalahnya, di birokrasi kita jumlah striker selalu lebih banyak dari bek. Semua ingin jadi pencetak gol. Semua ingin tampak. Semua ingin cepat naik level. Bahkan yang duduk di belakang pun kadang sibuk meniru gaya striker, padahal posisinya jelas bek.

Dan di sisi lain, ada juga bek-bek yang "silent": hadir tapi diam. Bekerja seperlunya, menjaga gawang seadanya. Kalau ada lawan masuk, ya sudah biarkan. Kalau ada kebijakan melenceng, pura-pura tak dengar. Itu bukan bek sejati. Itu cuma dekorasi.

Bek yang Berani Bersuara

Di sepakbola, bek sejati bukan cuma pasang badan. Dia juga teriak, memberi peringatan, mengatur garis pertahanan. Tanpa komunikasi, kiper bisa salah langkah, striker lawan bisa lolos, tim bisa amburadul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun