Bek yang silent di birokrasi sama saja dengan ASN yang hanya mengerjakan rutinitas tanpa peduli dampaknya. Mereka lebih takut pada atasan daripada pada keruntuhan sistem. Lebih nyaman menutup mata daripada membuka suara.
Dan hasilnya jelas: birokrasi stagnan. Sistem berjalan seperti zombie---hidup segan, mati pun tidak.
Bek Sebagai Kapten
Pertanyaan yang menggoda: siapa seharusnya jadi kapten dalam tim birokrasi? Striker yang mencetak gol, atau bek yang menjaga tim tetap solid?
Dalam banyak tim sepakbola besar, kapten justru datang dari lini belakang. Mengapa? Karena dari belakang ia bisa melihat seluruh permainan. Ia tahu celah, ia tahu ritme, ia tahu kapan harus maju dan kapan mundur.
Bagi birokrasi, ini berarti: kepemimpinan sejati sering lahir dari mereka yang paham detail, teguh menjaga sistem, tapi berani memberi arahan. Mereka mungkin tidak selalu jadi headline, tapi mereka adalah nadi dari organisasi.
Isnan sudah mencontohkan itu dalam skala keluarga. Meski masih muda, ia mengambil posisi bek yang memimpin. Kalau ditarik ke birokrasi, inilah jenis pegawai atau pejabat yang kita butuhkan lebih banyak: yang tidak sekadar mengurus diri, tapi rela jadi benteng bagi publik.
Sebuah Renungan
Novel Bek bukan sekadar cerita sepakbola. Ia adalah refleksi tentang bagaimana peran "penjaga" sering kali lebih berat, lebih sunyi, tapi justru paling menentukan.
Di birokrasi, kita tidak bisa hanya memuja striker. Kita juga tidak boleh membiarkan bek terus-menerus diam. Yang kita butuhkan adalah bek yang vokal, berani, dan rela jadi kapten dari belakang.
Seperti kata Isnan: