Menambah Wawasan dan Mengisi Gelas Kosong
Menarik apa yang Admin sampaikan untuk dikupas oleh Kompasianer berkaitan dengan "Pejabat Wajib Membaca Buku." Mencermati keadaan Indonesia, terutama pendidikan, begitu memprihatinkan. Hal ini sudah ada hasil dari riset, laporan PISA menempatkan posisi sangat rendah dalam literasi, numerasi, termasuk dalam budaya baca.
Kontekstual banget saat mempersiapkan tulisan ini menemukan Menko Pangan, kalau tidak salah nama kementeriannya itu, Zulhas mengatakan udang yang terpapar radioaktif aman dikonsumsi. Mengapa keluar pernyataan demikian, pastinya karena tidak membaca buku, atau artikel ilmiah yang harusnya dijadikan acuan dalam berbicara.
Pejabat Asbun, Tolol yang Berujung Penjarahan
Bulan lalu, ada pejabat tinggi negara yang dijarah rumahnya, gara-gara asal bunyi. Tolollah, jogedin aja, dan seterusnya, padahal rakyat lagi jengkel dengan keadaan ekonomi yang sangat buruk. Keluarnya pernyataan ini sebenarnya sudah banyak sebelumnya, ada ulama yang mengatakan goblok pada penjual es teh. Katanya becanda dan diketawain banyak orang, seolah biasa saja.
Presiden memilih kata-kata ndhasmu untuk meluapkan kemarahannya. Atau yang merespons mengenai MBG, ada yang bicara belum terbiasa minum susu sehingga diare. Tidak pakai sendok makanya keracunan, hanya sekian angka yang keracunan, sangat kecil. Itu semua asbun, asal bunyi, tidak berpikir mengenai perasaan pihak lain.
Pernah juga yang menjawab kepala babi ya digoreng saja toh, menanggapi kecemasan dari para pekerja dari sebuah  Perusahaan media yang menerima kiriman kepala babi. Padahal itu bisa dianggap sebagai simbol kekerasan. Tidak elok menanggapi dengan seloroh demikian itu.
Mengapa Asbun?
Ya pastinya kurangnya pengetahuan, pemahaman, dan pengertian atas sebuah peristiwa dengan sangat baik. Jika tahu dengan persis, tanggapannya pasti berbeda. Wise, bijaksana, itu berbeda dengan pintar atau pandai. Bijak itu berkaitan dengan kecerdasan, bukan kepandaian. Namun itu bisa dipelajari, dibangun, dilatih terus menerus.
Menumbuhkan empati, tahu kedudukan, keadaan pihak lain. Fokusnya adalah pihak lain bukan dirinya. Itu semua perlu Latihan terus menerus. Pejabat seyogyanya mampu bersikap demikian, sudah selesai dengan dirinya, nah salah satu parameternya adalah mampu memilah dan memilih kata dan respon atas sebuah peristiwa.
Berjarak. Mampu memberikan jeda, jarak, dan space sehingga tidak responsif. Kecenderungan manusia yang kurang berilmu itu reaktif, langsung memberikan tanggapan, sehingga tidak cukup akurat, dan itu tadi asbun. Padahal, konon, ciri kecerdasan itu tidak tergesa-gesa memberikan tanggapan.
Apa yang bisa dilakukan untuk melatih itu semua?
Membaca. Salah satu bacaan itu buku. Budaya baca sangat rendah. Mana ada sekarang menunggu antrian, di atas angkutan itu ada aktivitas membaca? Lebih banyak yang scrool layar gadget di manapun itu. Aktivatas membaca beralih dengan melihat dan mencari-cari.
Perlu Latihan. Kelihatannya budaya baca, termasuk di lembaga pendidikan sangat memprihatinkan. Gerakan satu buku satu bulan kelihatannya menjadi penting untuk bisa dilakukan dan menjadi gerakan yang serius. Lihat saja took buku kalah ramai dengan rumah makan mie, atau mana ada perpustakaan seramai mall? Ini hal serius, jangan dianggap sepele.
Pejabat membaca. Penting mereka menambah pengetahuan, di luar keilmuan yang digeluti. Membaca tidak ada buruknya, malah lebih banyak manfaat baik bagi diri atau pihak lain. Melihat pejabat kog asbun, cenderung kurang membaca.
Memberikan keteladanan dan habitat membaca. Melihat pejabat terlihat cerdas, membahas persoalan dengan mendalam, dan luas wawasannya tentu akan membuat masyarakat juga ikut untuk membaca. Aura baik akan menguar dan menular, sehingga kesukaan membaca jadi gaya hidup.