Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ikatan Hati

8 April 2020   20:40 Diperbarui: 8 April 2020   20:44 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semuanya menangis di hari itu, terkecuali Loupan dan anak-anak beliau yang lain. Mereka nampak lebih tegar dari para menantu. Mulai hari itu semuanya berubah hingga 10 hari ke depan. 

Setiap pagi dan sore aku menyiapkan peralatan cuci muka dan sarapan khusus yang dihidangkan di meja sembahyangan. Setiap kali itu juga airmataku mengucur menatap foto Nenek Lin yang terpajang jelas di atasnya. Foto dengan switter ungu serta topi berwarna ungu pula yang diambil saat kami berwisata ke "Sun Moon Lake" bulan Desember lalu.

Malam-malam yang kulalui selama 10 malam itu sangat getir sekali. Kamarku bersebelahan dengan tempat sembahyangan. Peti mati Nenek Lin diletakkan di sana. Di atasnya dipasang rekaman lagu khusus orang meninggal dengan irama yang sangat menyayat hati. 

Setiap kali aku lewat tempat sembahyangan dan masuk ke kamarku, hatiku seakan tersayat-sayat oleh irama lagu itu. Tiap mendengarnya, bayang-bayang kebersamaanku dengan beliau selalu melintas di kepalaku. Sakit, sakit sekali. 

Tidak ada lagi orang yang menanyakan hal-hal kecil setiap harinya. "Ani, pergilah ke toko membeli ayam kukus untuk makan anak menantu nomor  empat dari Taichung." , "Ani, tanggal berapa kamu akan libur untuk Pai Alla (Menyembah Allah Swt)?", "Ani, setiap gajian uangmu dikirim ke ibumu untuk belanja anakmu ya?". Ya Allah, aku rindu. Aku sangat rindu semua tentang Nenek Lin. Berat hati kuterima kepergiannya secepat ini. 

15 Februari 2019,

Besok pagi jasad beliau akan dikremasi. Malam terakhir sebelum kremasi itu aku lewat di depan tempat sembahyangan. Entah kenapa aku merasa udara malam ini begitu berbeda. Aroma yang kuhirup dari luar peti mati itu sangat harum menusuk. 

Tak sengaja aku melihat jasad Nenek Lin sudah diangkat keluar. Diletakkan di atas peti mati tepatnya. Aku dapat melihat kedua kaki beliau dari kejauhan. Aku merasa beliau sedang tidur saja, bukan jasad yang tak bernyawa. 

Malam ini malam terakhir aku dapat mendengar lagu menyayat hati dari peti mati itu. Untuk esok dan seterusnya semuanya akan berubah. Nenek Lin akan tinggal sebuah nama. 

Di samping kamar sembahyangan yang berisi jasad beliau, dengan pilu yang menyayat hati cerpen ini mulai kutulis. Lagu yang tak kusukai itu mengantarkan kata-perkata hingga goresan pena ini tercipta. 

Lagu menusuk hati itu yang mendorongku untuk menuliskan persembahan terakhirku ini untuk beliau. Aku tahu beliau sudah tenang di alam sana. Akan tetapi rasa terima kasihku tidak berhenti di sini saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun