Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ikatan Hati

8 April 2020   20:40 Diperbarui: 8 April 2020   20:44 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah-wajah yang kemarin tersenyum hari ini melelehkan airmata. Tawa yang kemarin masih pecah hari ini tak lagi ada. Wajah-wajah itu sembab. Sebagian mengusap kacamata dengan tisu yang telah basah. Sebagian lagi sibuk menyiapkan keperluan untuk upacara penting yang tak terduga. 

Rumah besar dengan halaman luas tampak mati dengan terpasangnya tenda warna-warni. Tenda perwakilan banyak hati yang sedang merayakan kehilangan. Makna sebuah kepedihan hati yang sangat mendalam. Hadirku yang selalu mereka sambut hari itu terabaikan. 

Semuanya sibuk. Sibuk dengan gencatan hati yang memedih. Bagaimana mungkin dinginnya hati dapat mereda oleh penghangat yang telah tiada? Bagaimana mungkin dapat memanggil mentari untuk datang ketika senja telah tiba?

Desember 2016,

Angin berembus kencang. Gemulai daun dari pepohonan temani suasana hatiku sore itu. Di perkebunan yang berada di depan rumah majikanku. Udara begitu menusuk, dingin menggigit. Dua mantel membungkus tubuh dengan rapat. 

Tetapi angin tetap menyusup ke dalam kulit. Musim dingin berada pada puncaknya. Pun hirau akan rintihan hati yang tersembunyi dari balik wajahku. Tak ada kesempatan untuk protes kepada siapa pun, termasuk kepada alam. 

Keluh kesah hanya jadi bayangan yang mengendap hingga malam tiba. Aku menghela napas panjang, sedikit berat kurasa di kerongkongan. Aku menoleh ke arah Nenek Lin yang duduk di depanku. 

Kulit-kulit jagung yang baru saja dipanen, beliau kupas satu persatu. Wajahnya yang keriput tak menampakkan rasa senang atau pun sedih, diam menunduk. Hanya sesekali bergumam, ada sedikit kepuasan akan panen tahun ini.

Ini tahun pertama kuinjakkan kaki di rumah Nenek Lin. Rumah yang berdiri di tengah pedesaan asri di pelosok Kabupaten Changhua nan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. 

Rumah itu berbentuk persegi panjang dengan sembilan ruangan. Satu ruang tamu dan sembahyangan, lima kamar tidur bersebelahan, dapur dan kamar mandi yang berada di bagian belakang. Di samping rumah sebelah kiri ada gudang besar yang dulu digunakan sebagai produksi sayuran. 

Sebelah kanan terdapat kandang cukup luas untuk beternak unggas-unggasan. Gudang dan kandang itu tak lagi beroperasi. Fungsi keduanya hanya jadi pajangan mata. Di bagian depan rumah ada taman dengan rumput sintetis yang menghijau. 

Dekat jalan raya terdapat kebun yang cukup luas dengan beraneka ragam jenis sayuran yang tumbuh subur. Satu lagi, di belakang rumah pun ada kebun sayuran yang berukuran setengah dari luas kebun yang di depan. 

Inilah pekerjaan intiku di sini, karena Nenek Lin masih sehat dan bisa melakukan aktivitas sendiri, beliau menuntutku untuk fokus menanam sayuran, memupuk, mengairi, hingga memanen hasil setiap beberapa bulan sekali.

Siapa yang ikhlas bekerja di ladang dengan berbagai resiko yang harus diterima? Panasnya musim panas, dinginnya musim dingin, efek samping pupuk penyubur pada kulit yang sensitive, serta ratusan ulat bulu yang membuat gatal luar biasa tanpa pandang jenis kulit? Aku jawab tidak ada! Termasuk diriku sendiri. 

Tidak mudah bagiku untuk beradaptasi dengan pekerjaan yang tak pernah terbesit di otakku. Menjadi petani? Ya, bukankah perjanjian kontrak kerja adalah menjaga lansia? Kenapa aku justru ditempatkan pada pekerjaan seperti ini? Tiga orang Tkw sebelum aku menyerah. Ada yang satu bulan, ada pula yang baru satu minggu. 

Dan aku adalah yang ke-empat. Apakah aku mampu atau menyerah seperti mereka? Aku tak pusingkan perihal mereka yang melambaikan tangan pada keadaan. Yang kulakukan hanya berjalan pada sepatu yang kuinjak, pada tanah yang ditakdirkan Tuhan untukku berpijak, pada desa yang kuhirup hembusan udaranya untuk bernapas, pada majikan yang membawaku kesini, dan pada Nenek Lin yang mengizinkan aku untuk menemani usia senjanya di sini.

Pagi ini kami turun ke kebun lebih awal, pukul 03.00 pm kedua kaki kami sudah menyatu dengan tanah. Serpihan ranting tumbuhan menyapa kasar telapak kaki kami tanpa alas. 

Jijik-kah? Atau takut kotor-kah? Aku jawab tidak sama sekali! Karena sedari kecil aku suka berbaur dengan alam. Menyatukan kulit dengan tanah bagiku menyatukan hati dengan karunia Tuhan. 

Berada jauh dari hiruk-pikuk perkotaan membuat hatiku lebih dekat dengan alam. Karena tujuanku di negara ini bukanlah mencari kesenangan, melainkan mengais rezeki dari jalan yang diridhoi Tuhan. Aku tidak iri dengan kawan-kawanku yang tinggal di perkotaan. 

Setiap waktu dapat menghirup udara bebas dengan pelbagai warna-warni dalam lingkarannya. Aku tak sedih dengan keglamouran negara ini yang tak pernah kusentuh sama sekali. 

Aku lebih bahagia menjadi pekerja Nenek Lin yang tidak tahu apa itu dunia bebas Taiwan yang viral di media sosial. Aku sangat bersyukur bisa bekerja di rumah ini bersama beliau yang begitu kusayangi, wanita tua bernama Lin Zhang Xiu Gui.

Desember 2017,

Waktu berjalan cukup cepat. Tak terasa satu tahun aku bekerja pada Nenek Lin. Dalam setahun ini, belum banyak teman yang aku temukan. Dalam setahun ini pun, baru satu kali aku liburan. Itu pun pada hari besarku sebagai umat muslim yang jatuh bulan Juli kemarin. Nenek Lin tidak mengizinkan aku untuk liburan. 

Beliau tidak suka aku banyak teman. Awalnya aku tidak mempedulikan, hanya patuh pada beliau yang membayar tenagaku setiap bulan. Waktu luang kuhabiskan untuk menulis cerpen dan novel. 

Cerpen demi cerpen aku kirim ke radio, sebagian aku posting di jejaring sosial hingga ku bukukan menjadi sebuah novel. Aku promosikan dan aku jual. Tetapi, sebagai manusia biasa, rasa jenuh pun mulai tiba. Aku merasa lelah dengan keseharianku saat itu. Belum lagi masalah demi masalah mulai datang, emosi Nenek Lin mulai keluar di tahun ini. 

Pertengahan Desember ini, aku dituduh mencuri dua helai baju milik Nenek Lin.  Beliau marah sekali kepadaku. Padahal, kemana baju-baju itu, aku pun tak tahu. Selesai mencuci, menjemur hingga kering selalu aku letakkan di lemari.

 Dalam satu minggu, beliau tak menegurku sama sekali. Yang dilakukan hanya meluapkan amarah setiap hari. Bahkan, beliau mengancamku untuk mengembalikanku pada Agensi dan memotong gajiku sebagai ganti rugi. 

Kesabaran yang setahun ini aku pegang akhirnya runtuh juga. Entah kenapa hatiku merasa sakit sekali dituduh sebagai pencuri oleh orang yang aku sayangi. Padahal 1 NTD saja selalu aku kembalikan jika ada sisa kembalian setelah belanja. Peluh keringat selama aku dipekerjakan di kebun bisa hilang dengan cepat, akan tetapi kesabaran untukku bertahan kurasa tak lagi ada. Ketulusanku selama ini telah kalah oleh suasana. Aku nyaris melambaikan tangan seperti mereka.

Pertengahan Januari, anak dan menantu Nenek Lin berkumpul. Perseteruan antara aku dan beliau belum mereda. Nenek Lin sangat membenciku perihal dua buah baju yang hilang atau karena alasan lain, entahlah, aku pun tak tahu. 

Yang pasti, aku merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap beliau. Aku merasa hanya orang asing yang mengais rezeki di rumah ini. Sedang beliau yang membayarku setiap bulan, tak menginginkan aku lagi. Lantas, aku bisa apa?

Anak menantu beliau berusaha mendinginkan suasana. Mereka mengingatkan kembali pada ketiga pekerja sebelum aku yang pergi dari rumah ini. Alasannya? Tentu saja beliau takkan pernah lupa, tidak mudah mencari perawat lansia yang mau bekerja sebagai tukang kebun. 

Tidak mudah mencari perawat lansia yang mudah beradaptasi dengan karakter beliau yang begitu keras. Ya, Nenek Lin sangat keras. Beliau selalu melakukan apa pun yang beliau inginkan. Tidak suka diatur oleh siapa pun termasuk anak menantunya. Dan perdebatan pagi ini selesai dengan sebuah perjanjian,

"Beri waktu untuk kami sampai selesai Chinesse New Year, kami mohon. Jika kamu masih bisa bertahan, kami akan sangat berterima kasih. Tetapi jika kamu kukuh ingin pindah,..? Tolonglah, pikirkan kembali dengan matang. Atau kamu ingin minta libur setiap bulan? Atau dua kali dalam sebulan? Bicaralah, kami akan membantu membicarakan ini pada beliau." Wanita cantik yang kupanggil Loupan Niyang membujukku dengan lembut sekali. 

Desember 2018,

Dua menantu Nenek Lin mengajak kami untuk jalan-jalan. Danau besar yang terletak di tengah pegunungan Kabupaten Nantou menjadi tujuan kami siang ini. Untuk pertama kalinya aku mendorong Nenek Lin dengan kursi roda. Dan untuk pertama kalinya pula, kami melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk cuci mata. 

Sejauh ini beliau tidak suka kemana-mana. Tak mau hirau jika anak menantunya mengajak untuk liburan. Tetapi udara akhir tahun sekaligus pembuka musim dingin rupanya mampu meluluhkan hati beliau. Dengan senang hati beliau ikut bersama kami tanpa penolakan. 

Aku pun melihat ada kebahagiaan yang tersirat pada wajah keriputnya. Ada ketakjuban yang terpancar dari kedua matanya. Dan terbesit di hati terdalamku, aku bertanya-tanya. Kenapa aku seperti merindukan beliau yang masih berada di depan mataku? Kenapa aku merasakan kerinduan seperti akan ditinggalkan? 

Kejernihan birunya air danau mengembalikan kesadaranku. Aku menuntun beliau yang memintaku untuk melihat bunga sepatu. Setangkai bunga beliau tatap dalam-dalam. Dan aku kembali merasakan kerinduan seperti akan ditinggalkan. 

Oh tidak! Aku rasa aku terlalu berlebihan. Atau memang ini sebuah firasat yang kudapat dari Tuhan? Entahlah. Suara jepretan kamera ponsel kembali menyadarkan aku. Tak kusangka menantu beliau mengambil gambar kami dari samping. Foto itu yang paling kusukai dari foto-foto yang lain. 

Nenek Lin, wanita tua yang kurawat dua tahun ini sedang tersenyum menatap bunga sepatu dengan switter ungu dan topi berwarna ungu pula. Sedang aku berdiri di samping beliau sembari menatap lekat bunga lain yang berada di atas kepala beliau.

Sore hari, setelah puas berkeliling lokasi, kami memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Nenek Lin meminta menantunya untuk membeli buah markisa yang dijajakan di pinggiran jalan. Beliau sangat suka buah markisa dengan rasa khas yang asam dan sedikit manis. 

Selesai membeli, kami lanjut pulang. Banyak sekali foto-foto yang mereka kirim ke Line-ku. Aku sangat bahagia hari itu. Karena danau besar itu merupakan salah satu wisata impianku yang sangat terkenal di Taiwan dengan nama "Sun Moon Lake". 

Aku merasa begitu beruntung berada di tengah keluarga besar Nenek Lin. Tidak ada batasan antara majikan dan pembantu. Aku seperti tamu yang mereka hormati. Bahkan kenyamanan yang mereka beri mampu mengurangi kerinduanku pada keluarga yang kutinggalkan cukup lama.

Awal Januari, Loupan Niyang berkata bahwa kami akan mengunjungi taman bunga sakura putih di Nantou. Ia bilang Nenek sangat suka melihat bunga-bungaan. Aku tatap beliau tak merespon apa-apa. 

Hanya diam dengan mata kadang tertutup dan terbuka. Entahlah, aku merasa kesehatan beliau semakin menurun. Itu terlihat dari napsu makan beliau yang langsung turun. 

Pagi, siang, malam, beliau hanya mau minum susu. Bahkan beliau sudah tak mampu meminum obat-obatannya sendiri. Sebelumnya, aku sering melihat obat-obatan itu dicampur-adukkan dalam satu wadah. 

Atau banyak yang berjatuhan di lantai di luar kesadaran beliau. Sampai akhirnya, aku meminta kepada anak menantu beliau untuk mengambil alih masalah obat-obatan yang beliau konsumsi. Demi kebaikan Nenek Lin, mereka hanya menuruti saranku. 

Akan seperti apa rumah besar nan luas itu tanpa beliau? Apakah udara di sana akan tetap sama? Atau justru tampak mati tak bernyawa? Aku memilih tinggal di rumah Loupan Niyang daripada sendirian di rumah beliau. Dengan tinggal di sana, aku bisa mengetahui kabar beliau setiap waktu. 

Setiap hari kami menjenguk di ruang ICU. Aku sangat terharu saat Dokter berkata bahwa beliau selalu menyebut namaku setiap malam. Beliau marah, ingin pulang. 

Kondisi fisik yang begitu down membuat beliau tak dapat mengingat siapa-siapa, hanya aku yang beliau panggil dalam rasa sakitnya, hanya namaku yang keluar dari mulutnya, "Ani.. Ani...", Sedang kepada anak menantu dan cucu-cucunya, beliau tak ingat sama sekali.

Aku tahu betapa beliau merasakan rasa sakit yang teramat sangat. Tubuh renta itu harus menerima banyak suntikan di sekujur tubuhnya. Minum susu dan obat harus dari selang. Bahkan selang sedot dahak itu kurasa yang paling mengganggu kenyamanan beliau. 

Sakit, pasti sangat sakit sekali. Apalagi kedua tangan dan kaki yang diikat karena beliau berusaha melepas semua selang dengan kuat. Beliau selalu berontak. Tak dapat kubayangkan, saat emosi beliau mendobrak dinding rumah sakit. 

Meletup-letup berteriak kepada wajah yang tak beliau kenali. Jiwanya menangis mengharap belas kasih malaikat yang bisa mengeluarkan ia dari sana. Pedihkah melihat semua itu? Kujawab pedih sekali. 

Masa menegangkan itu berlangsung satu minggu. Selama itu tidak ada yang bisa dilakukan para dokter untuk beliau selain memberi jalan keluar kepada Loupan untuk melakukan operasi pada jantung beliau yang sudah membengkak. 

Ya, benar. Beliau memang mengeluh jantungnya sakit sebelum akhirnya seperti itu. Akan tetapi sifat keras kepala yang mendarah daging membuat beliau amat membenci tempat yang bernama rumah sakit. 

Jangankan dirawat, untuk melakukan pemeriksaan lanjutan saja, beliau menolak keras. Lebih menyuruh Loupan menebus obat-obatan untuk konsumsi sehari-hari. 

Operasi itu pun tidak dilakukan. Keluarga besar tidak menyetujui dikarenakan usia beliau yang sudah renta. Mereka takut semuanya berbalik fatal dan beliau tak terbangun lagi pasca operasi. Yang mereka bisa lakukan hanya pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

 Di kamis siang pukul 14.00 pm, pihak rumah sakit memberitahu bahwa kondisi Nenek Lin sudah membaik. Beliau akan dipindahkan ke ruangan umum.

 Aku merasa lega sekali. Siang itu, pertama kalinya aku merasakan suasana kamar rumah sakit untuk menjaga beliau. Tetapi, ada yang aneh aku lihat. Beliau berbicara ngelantur. 

Marah-marah tak jelas kepada siapa, aku tak tahu. Air kecil dan air besar beliau selama di ICU hingga hari itu tak keluar. Sama sekali belum keluar. Hal itulah yang menyebabkan tangan dan perut beliau membesar berisi cairan. 

Jantung yang tak berfungsi dengan normal menyebabkan seluruh organ dalam tubuh beliau mati. Lantas, kenapa beliau harus keluar dari ruang ICU? Apakah detak jantung yang mulai normal menjadi jaminan beliau kelaur dari ruangan mengerikan itu?

Malam pertamaku merawat beliau kurasa sangat luar biasa. Entah, walau aku tak terlelap semalaman dengan tempat tidur yang kurang nyaman, tetapi aku merasa rasa rinduku kepada beliau cukup terbayar. 

Di malam itu beliau berbicara sendiri tiada henti. Bahkan beliau sudah tak mengenal siapa pun, termasuk aku. Ya, namaku yang selama di ICU masih sering beliau sebut dalam rasa sakitnya, malam itu tak terucap lagi. Beliau yang dulu sering memarahiku dengan lantang kini tak lagi mengenalku. 

Aku sama seperti anak menantu beliau yang lain. Orang asing yang tak lagi beliau kenali. Setiap kali mereka menjenguk, hanya mampu menatap tubuh ibu mereka yang terbaring lemah dengan mata terpejam dan mulut berbicara ngelantur. Dan suasana pilu itu hanya berlangsung tiga hari saja di sana.

Aku mencium kening beliau untuk yang terakhir kalinya dengan lelehan airmata. Kemudian mengabari Loupan dan Loupan Niyang dengan isak dan dada teramat sesak. Loupan terlihat tegar sedang suara Loupan Niyang menghilang beberapa detik setelah aku menyampaikan kabar duka itu. 

Pedih? Sakit? Jangan ditanya. Aku masih sangat ingat, hari pertama kami ke rumah Nenek Lin saat beliau masuk ICU, Loupan Niyang menghentikan mobilnya di tengah jalan kemudian menangis tersedu-sedu. 

Mengingat Ibu mertua yang sangat dicintainya saat itu terbujur tak berdaya di rumah sakit. Ia teringat banyak hal yang terlewati selama puluhan tahun di rumah luas nan indah itu. Tetapi ketika kami kembali kesana, rumah itu kosong. 

Wanita tua yang selalu tertawa bersama kami di ruang tamu itu tak ada lagi. Kursi kesayangan beliau di depan Tv itu tampak mati. Tinggal anjing penjaga yang masih setia menjaga rumah beliau dengan ketidakmengertian apa yang telah terjadi.

Seperjalanan pulang, aku tiada henti meneteskan airmata. Siauce, serta anak-anak Loupan Niyang lainnya mengantarku pulang. Sedang ibu mereka dan menantu yang lain mengurus jasad Nenek Lin di rumah sakit. 

"Ini yang terbaik untuk Nenek. Menurutku, pulang lebih cepat jauh lebih baik daripada terbaring di ranjang merasakan rasa sakit untuk waktu yang lama." Ujar Siauce kepadaku. Ia terus menenangkan aku yang menangis sejak tadi.

"Aku tahu. Tapi ini terlalu cepat bagiku. Aku merasa begitu kehilangan Nenek yang dua tahun lebih bersamaku. Aku rindu beliau marahi jika aku melakukan kesalahan saat kami di kebun. Aku rindu beliau tertawa saat kami menonton Tv di malam hari. Aku rindu semua itu." Jawabku terisak.

"Tapi ini hal yang sangat istimewa bagi kami. Dua tahun lebih saja kamu bersama Nenek, tapi kamu merasa sangat kehilangan hingga menangis tiada henti seperti ini. Aku pikir kebersamaan kalian hanya sebatas perawat dan pasien, tidak lebih dari itu. Kami sangat terharu." Ia menatapku lekat.

Aku menghela napas sebentar. Sorotanku beralih keluar jendela mobil, ingatanku menembus kaca dengan kuat. "Karena di rumah itu, kami hanya tinggal berdua. 

Aku yang menyaksikan betapa bahagianya beliau dalam kesendirian di masa sehatnya, dan aku yang tahu dari awal beliau mengeluh sakit hingga beliau tidak ada. 

Bahkan tadi pagi, aku yang melihat beliau menghembuskan napas terakhirnya. Beliau memang bukan Nenekku, aku di sini untuk menjaganya, beliau yang membayarku, aku memang bukan siapa-siapa. 

Tetapi cinta yang sudah berbicara, ada masanya IKATAN HATI jauh lebih kuat daripada ikatan darah. " Siauce mengangguk pelan. Dan kami melanjutkan perjalanan.

 Tenda warna-warni menyambut kedatangan kami. Kulihat jasad Nenek Lin sudah tiba di tempat lebih dulu dari kami. Semua orang sibuk menahan gencatan hati masing-masing. Semua menantu dan cucu beliau keluar rumah satu-persatu dengan wajah sembab. 

Semuanya menangis di hari itu, terkecuali Loupan dan anak-anak beliau yang lain. Mereka nampak lebih tegar dari para menantu. Mulai hari itu semuanya berubah hingga 10 hari ke depan. 

Setiap pagi dan sore aku menyiapkan peralatan cuci muka dan sarapan khusus yang dihidangkan di meja sembahyangan. Setiap kali itu juga airmataku mengucur menatap foto Nenek Lin yang terpajang jelas di atasnya. Foto dengan switter ungu serta topi berwarna ungu pula yang diambil saat kami berwisata ke "Sun Moon Lake" bulan Desember lalu.

Malam-malam yang kulalui selama 10 malam itu sangat getir sekali. Kamarku bersebelahan dengan tempat sembahyangan. Peti mati Nenek Lin diletakkan di sana. Di atasnya dipasang rekaman lagu khusus orang meninggal dengan irama yang sangat menyayat hati. 

Setiap kali aku lewat tempat sembahyangan dan masuk ke kamarku, hatiku seakan tersayat-sayat oleh irama lagu itu. Tiap mendengarnya, bayang-bayang kebersamaanku dengan beliau selalu melintas di kepalaku. Sakit, sakit sekali. 

Tidak ada lagi orang yang menanyakan hal-hal kecil setiap harinya. "Ani, pergilah ke toko membeli ayam kukus untuk makan anak menantu nomor  empat dari Taichung." , "Ani, tanggal berapa kamu akan libur untuk Pai Alla (Menyembah Allah Swt)?", "Ani, setiap gajian uangmu dikirim ke ibumu untuk belanja anakmu ya?". Ya Allah, aku rindu. Aku sangat rindu semua tentang Nenek Lin. Berat hati kuterima kepergiannya secepat ini. 

15 Februari 2019,

Besok pagi jasad beliau akan dikremasi. Malam terakhir sebelum kremasi itu aku lewat di depan tempat sembahyangan. Entah kenapa aku merasa udara malam ini begitu berbeda. Aroma yang kuhirup dari luar peti mati itu sangat harum menusuk. 

Tak sengaja aku melihat jasad Nenek Lin sudah diangkat keluar. Diletakkan di atas peti mati tepatnya. Aku dapat melihat kedua kaki beliau dari kejauhan. Aku merasa beliau sedang tidur saja, bukan jasad yang tak bernyawa. 

Malam ini malam terakhir aku dapat mendengar lagu menyayat hati dari peti mati itu. Untuk esok dan seterusnya semuanya akan berubah. Nenek Lin akan tinggal sebuah nama. 

Di samping kamar sembahyangan yang berisi jasad beliau, dengan pilu yang menyayat hati cerpen ini mulai kutulis. Lagu yang tak kusukai itu mengantarkan kata-perkata hingga goresan pena ini tercipta. 

Lagu menusuk hati itu yang mendorongku untuk menuliskan persembahan terakhirku ini untuk beliau. Aku tahu beliau sudah tenang di alam sana. Akan tetapi rasa terima kasihku tidak berhenti di sini saja. 

Aku ingin semua orang tahu bahwa kami pernah bersama. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku sangat merindukannya. Dan aku ingin semua orang tahu tulisan ini adalah bukti bahwa ikatan hati berada di atas ikatan darah.

Pagi pukul 04.00 am aku bangun. Lebih awal dari biasanya karena jasad Nenek Lin akan dirias sebelum pukul 05.00 am. Di depan jendela aku berdiri, menatap tubuh kaku memakai pakaian seperti pengantin. 

Satu persatu anak menantu yang sudah datang diminta untuk melihat beliau. Aku diminta Loupan untuk masuk juga. Namun, aku menolak. Aku tak kuasa menahan sesak di dadaku. 

Aku tidak ingin menangis lagi untuk kesekian kalinya di depan mereka. Loupan tak berhasil, Laoupan Niyang kembali menyuruhku untuk masuk. Aku tak memiliki kekuatan untuk menolak bujukannya. 

Bersamanya aku masuk. Nenek Lin cantik sekali. Beliau tak terlihat seperti orang yang sudah meninggal. Wajahnya tersenyum kecil menarik banyak kerinduan di hati kami. 

Prosesi penghormatan itu berjalan tahap-pertahap. Semua anak menantu dan cucu bersimpuh di depan jasad beliau. Aku dan Loupan Niyang berdiri di depan pintu. Semua orang menangis tersedu-sedu, termasuk Loupan yang sejauh ini paling terlihat tegar. Airmata di pagi buta itu mulai tumpah semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun