Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ikatan Hati

8 April 2020   20:40 Diperbarui: 8 April 2020   20:44 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengingat Ibu mertua yang sangat dicintainya saat itu terbujur tak berdaya di rumah sakit. Ia teringat banyak hal yang terlewati selama puluhan tahun di rumah luas nan indah itu. Tetapi ketika kami kembali kesana, rumah itu kosong. 

Wanita tua yang selalu tertawa bersama kami di ruang tamu itu tak ada lagi. Kursi kesayangan beliau di depan Tv itu tampak mati. Tinggal anjing penjaga yang masih setia menjaga rumah beliau dengan ketidakmengertian apa yang telah terjadi.

Seperjalanan pulang, aku tiada henti meneteskan airmata. Siauce, serta anak-anak Loupan Niyang lainnya mengantarku pulang. Sedang ibu mereka dan menantu yang lain mengurus jasad Nenek Lin di rumah sakit. 

"Ini yang terbaik untuk Nenek. Menurutku, pulang lebih cepat jauh lebih baik daripada terbaring di ranjang merasakan rasa sakit untuk waktu yang lama." Ujar Siauce kepadaku. Ia terus menenangkan aku yang menangis sejak tadi.

"Aku tahu. Tapi ini terlalu cepat bagiku. Aku merasa begitu kehilangan Nenek yang dua tahun lebih bersamaku. Aku rindu beliau marahi jika aku melakukan kesalahan saat kami di kebun. Aku rindu beliau tertawa saat kami menonton Tv di malam hari. Aku rindu semua itu." Jawabku terisak.

"Tapi ini hal yang sangat istimewa bagi kami. Dua tahun lebih saja kamu bersama Nenek, tapi kamu merasa sangat kehilangan hingga menangis tiada henti seperti ini. Aku pikir kebersamaan kalian hanya sebatas perawat dan pasien, tidak lebih dari itu. Kami sangat terharu." Ia menatapku lekat.

Aku menghela napas sebentar. Sorotanku beralih keluar jendela mobil, ingatanku menembus kaca dengan kuat. "Karena di rumah itu, kami hanya tinggal berdua. 

Aku yang menyaksikan betapa bahagianya beliau dalam kesendirian di masa sehatnya, dan aku yang tahu dari awal beliau mengeluh sakit hingga beliau tidak ada. 

Bahkan tadi pagi, aku yang melihat beliau menghembuskan napas terakhirnya. Beliau memang bukan Nenekku, aku di sini untuk menjaganya, beliau yang membayarku, aku memang bukan siapa-siapa. 

Tetapi cinta yang sudah berbicara, ada masanya IKATAN HATI jauh lebih kuat daripada ikatan darah. " Siauce mengangguk pelan. Dan kami melanjutkan perjalanan.

 Tenda warna-warni menyambut kedatangan kami. Kulihat jasad Nenek Lin sudah tiba di tempat lebih dulu dari kami. Semua orang sibuk menahan gencatan hati masing-masing. Semua menantu dan cucu beliau keluar rumah satu-persatu dengan wajah sembab. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun