Mohon tunggu...
Iin Andini
Iin Andini Mohon Tunggu... Guru - Pribadi

Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Tukang Ojek Tua

16 November 2021   12:48 Diperbarui: 16 November 2021   13:12 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pangkalan Ojek, Sumber Gambar: megapolitan.okezone.com

Dita masih tertegun memandangi tempat pangkalan ojek. Pak Suryo yang kadang mengantar Dita ke tempat kerjanya setiap pagi sudah beberapa hari tidak terlihat. Dita bisa saja memesan ojek online, tetapi Dita selalu merasa bersalah atas ucapannya waktu itu. Untuk menebus rasa bersalah, Dita meminta Pak Suryo untuk menjemputnya sepulang kerja.

Tiga bulan lalu Dita diterima di sebuah mini market di sebuah di daerah yang tidak bisa dijangkau oleh angkot. Untuk sampai ke tempat itu, Dita harus naik angkot lagi. Di awal-awal Dita memilih menggunakan ojek online. Namun, Dita kadang menunggu agak lama. Sementara jika menggunakan ojek biasa, Dita akan sampai ke tempat kerjanya kurang lebih 10 menit. Akhirnya, setiap hari Dita naik ojek di pangkalan tersebut.

Salah satu tukang ojek yang menjadi langganan Dita adalah adalah Pak Suryo yang merupakan mantan kuli bangunan. Di usianya yang tidak muda lagi, dia memilih menjadi tukang ojek karena untuk menjadi kuli tenaganya sudah tidak kuat dan tidak ada mandor yang mau menerimanya lagi menjadi kuli.

Saat pertama kali Dita diantar oleh Pak Suryo, biasa saja. Di tengah keterburu-buruannya,  Dita sangat malas berbicara.

 "Nak, mau diantar ke mana?" tanya Pak Suryo. Mendengar jawaban Pak Suryo, Dita sedikit kesal. Jelas-jelas di seragam Dita tertulis "Melati Mini Market" yang merupakan salah satu mini market terbilang baru di kompleks tersebut.

"Ya, Pak! Saya mau ke Mini Market Melati!" jawab Dita agak ketus.

"Di sebelah mana, Nak?" tanyanya lagi. Mendengar pertanyaan itu, Dita semakin kesal.

"Pak, lurus saja. Nanti di depan di sebelah kanan ada tulisannya Melati Mini Market!" jawabnya dengan ketus.

"Maaf, Nak. Bapak tidak bisa membaca," jawab Pak Suryo. Mendengar jawaban itu, Dita merasa bersalah.

"Oh, maaf, Pak!" jawab Dita dengan nada bersalah. Dita lalu menjelaskan dan menunjukkan tempatnya dengan jelas.

"Oh, yang di sebelah rumah makan Padang? Kalau itu Bapak tahunya MM, Nak!" jawabnya dengan tertawa.

Dita menyesal akan perkataannya. Sejak saat itulah Dita selalu meminta Pak Suryo menjempunya sepulang kerja. Cara dia menjemput Dita adalah mengetahui jam pulang Dita. Pasti selalu diingatkan Usman untuk menjemput Dita. Setelah beberapa hari Pak Suryo tidak menjemputnya, Usmanlah yang selalu menjemputnya.

Pak Suryo bercerita bahwa andaikan waktu diulang, dia akan sekolah. Ternyata sekolah itu penting. Dulu ketika orang tuanya menyuruhnya untuk bersekolah, Pak Suryo memilih mencari duit. Menurutnya, sekolah tidak menghasilkan duit. Akhirnya, Pak Suryo selama ini menjadi kuli bangunan.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 16.00. Saatnya Dita pulang. Dita berencana ke rumah Pak Suryo dengan mengajak Rini. Sebelumnya, Dita sudah meminta alamat Pak Suryo. Menurut Pak Agus bisa saja dia sedang sakit karena asam lambungnya sering naik.

Dita langsung memesan taksi online. Setelah taksinya datang, Dita dan Rini langsung berangkat. Tidak lupa Dita membawakan beberapa sembako yang dibelinya di mini market tempat Dita bekerja.

Sesampainya di lokasi tempat Pak Suryo, Dita dan Rini langsung turun dari mobil di depan sebuah masjid. Kebetulan ada beberapa lorong yang ada di situ, Dita mencoba menanyakan kepada orang-orang yang menongkrong di sebuah warung. Hampir semua orang mengenalnya. Dita baru tahu ternyata Pak Suryo dulu adalah seorang preman.

"Oh Preman Sur. Nanti Mbak masuk lewat lorong di sebelah kanan itu dan lurus saja sampai ketemu kontrakan bercat hijau," jawab salah satu pemuda yang menongkrong di warung tersebut.

"Preman?" tanya Rini bingung.

"Iya. Waktu remaja Pak Sur ini preman di Pasar Jaya. Tapi setelah itu tobat dan menjadi kuli bangunan. Ha-ha-ha!" jawabnya dengan sambil tertawa. Dita yang mendengar cerita itu semakin salut dengan Pak Suryo. Dita tidak melihat jiwa premanisme di dalam diri Pak Suryo.

Dita dan Rini lalu menyusuri rumah kontrakan yang ditunjukkan salah satu pemuda di warung itu. Kontrakan di situ terlihat kumuh. Para penghuninya duduk di depan pintu lorong yang dilalui Dita dan Rini. Dalam hati Dita bersyukur alm. bapaknya meninggalkan sebuah rumah sehingga tidak perlu mengontrak.

"Eh, itu Pak Suryo!" seru Rini. Dita melihat ke arah sebuah kontrakan bercat warna hijau. Benar saja, terlihat Pak Suryo sedang duduk bersama seorang perempuan tua yang kemungkinan adalah istrinya. Pak Suryo yang melihat kehadiran Dita dan Rini kaget dan senyum-senyum sendiri.

"Lah, Nak. Kenapa ke sini? Tahu kontrakan Bapak dari mana? He-he-he," tanyanya dengan hangat.

"He-he-he. Selamat sore Pak Suryo. Dita tahunya dari Pak Agus. Dita bingung sudah beberapa hari Bapak menghilang," jelas Dita.

Dita menyerahkan sebuah kantong plastik merah berisi sembako kepada Pak Suryo.

"Loh, ini apa? Ke rumah Bapak, kok, repot-repot," jawab Pak Suryo tidak enak dengan Dita dan Rini.

"Diterima saja, Pak!" bujuk Rini. Akhirnya Pak Suryo menerima kantong plastik yang diberikan oleh Dita dan menyerahkan ke istrinya. Pak Suryo mengajak Dita dan Rini duduk. Bu Suryo menyuguhkan teh hangat untuk mereka.

"Pak, mengapa Bapak tidak mengojek lagi? Apakah Bapak sakit?" tanya Dita.

Pak Suryo lalu menjelaskan bahwa motor yang sering dipakainya mengojek kebetulan motor anaknya. Kemarin motornya ditarik oleh leasing. Anaknya yang bungsu bekerja sebagai kuli pabrik harus berhenti kerja karena terjadi pengurangan karyawan di perusahaannya. Akhirnya, anaknya berhenti bekerja.

Dita dan Rini yang mendengar penjelasan Pak Suryo dan Bu Suryo merasa sedih. Mereka tidak sadar meneteskan air mata. Lalu, Dita mulai teringat percapakan pemuda di lorong tadi jika Pak Suryo merupakan mantan preman.

"Pak, mau tanya. Pas tadi di depan menanyakan alamat Bapak, mereka menjawab bahwa Preman Sur. Apa Bapak seorang preman dulunya? Dita enggak percaya loh, Pak!" kata Dita.

Mendengar pertanyaan Dita, wajah Pak Suryo yang tadinya menunjukkan keceriaan langsung berubah. Pak Suryo mengenang kejadian yang terjadi 35 tahun yang lalu.

"Kenapa, Pak?" tanya Rini menegaskan pertanyaan Dita.

Pak Suryo merasa tidak pantas menceritakannya. Apalagi menyangkut masa kelamnya dulu. Namun, Pak Suryo juga tidak mungkin menyimpannya. Toh, permasalahannya sudah lama terjadi dan Pak Suryo sudah menerima semua ganjarannya. Bahkan, ganjaran hidup yang dia terima. Pak Suryo merasa bersalah akan masa mudanya yang kelam.

Pak Suryo lalu mulai memberanikan diri menceritakannya. Dia mengambil napas yang panjang, menyiapkan mental agar tidak meneteskan air mata. Pak Suryo menceritakan mulai dari masa remajanya yang sudah sengsara. Ayahnya adalah seorang preman di sekitar pasar Jaya. Akhirnya, jiwa premanismenya muncul. Ketika SD, Pak Suryo lebih memilih ke pasar bersama ayahnya daripada harus belajar membaca dan berhitung di kelas. Atau Pak Suryo lebih memilih ikut pamannya menjadi kuli bangunan.

Sampailah ketika Pak Suryo berumur 20 tahun. Ayahnya meninggal. Pak Suryo begitu kehilangan. Pak Suryo bingung jika harus menjadi kuli atau tukang palak di pasar. Belum lagi, di umur 20 tahun, Pak Suryo sudah menikahi gadis pengamen yang akhirnya bercerai juga. Pak Suryo kemudian memilih menjadi kuli bangunan. Jika tidak ada kerjaan, Pak Suryo menjadi pencopet di terminal beberapa tahun.

Mendengar jawaban Pak Suryo, Dita dan Rini sedikit merinding. Dita dan Rini seolah-olah tidak percaya.

"Bapak menjadi pencopet di terminal?" tanya Dita.

"Iya. Sampai akhirnya kejadian nahas itu terjadi," kenang Pak Suryo.

Di terminal itu, Pak Suryo mengikuti seorang wanita yang baru pulang dari kantor. Akhirnya, Pak Suryo pura-pura menjadi penumpang di sebuah angkot. Sebenarnya sopir-sopir angkot juga tahu bahwa dirinya adalah pencopet. Namun, kadang mereka hanya diam karena biasanya akan diancam balik oleh pencopet.

Kebetulan yang mengendarai angkot tersebut adalah seorang sopir yang bisa dibilang terkenal baik di antara sopir-sopir yang lain. Ketika Pak Suryo mengambil dompet wanita tersebut, Pak Sopir itu melihat kelakuan Pak Suryo.

"Copet!" teriaknya. Wanita itu langsung memukul Pak Suryo dengan tasnya. Karena rencananya gagal, Pak Suryo tidak terima dan mengancam sopir itu.

"Apa? Kamu mengancam saya? Saya tidak takut!" jawab sopir tersebut. Pak Suryo langsung memaksa sopir itu turun dari mobil dan memukulnya. Sopir pun tidak tinggal diam. Akhirnya terjadilah perkelahian.

"Lalu, Pak!" tanya Rini semakin merinding dan penasaran. Sementara itu, Dita mendengar cerita Pak Suryo dengan tenang.

"Lalu...Ya sudahlah!" jawab Pak Suryo tidak sudih melanjutkannya.

"Lalu kenapa Pak?" tanya Dita semakin penasaran.

"Karena tenaga sopir itu lumayan kuat. Saya mulai terdesak. Akhirnya saya lari ingin menyelamatkan diri. Saya ingat bahwa saya sering membawa pisau yang digunakan untuk mengancam korban. Saya langsung mengambilnya dan tanpa berpikir panjang langsung.." Pak Suryo menghentikan kembali ceritanya. Terlihat raut wajahnya memerah dan menyesal.

"Saya menghunuskan pisau ke perutnya!" jawabnya dengan suara hampir tidak terdengar. Dita dan Rini kaget dan tidak menyangka jika Pak Suryo adalah seorang pembunuh, mantan narapidana.

Pak Suryo melanjutkan jika dia harus menerima hukumannya dengan penjara 7 tahun. Dia merasa bersalah kepada anak-anaknya. Untunglah ada sahabatnya, yaitu Bu Suryo yang selalu menjaga anak-anaknya ketiga di penjara dan merawat Pak Suryo ketika keluar dari penjara.

Dita dan Rini langsung menoleh ke arah Bu Suryo. Ada rasa kagum di hati mereka.

"Ibu tidak pernah menikah selain dengan Pak Suryo?" tanya Rini.

"Oh, Sudah, Nak! Saya sudah menikah beberapa kali selama Bapak di penjara, tetapi saya tetap merawat anak-anak Pak Suryo," jawab Bu Suryo.

"Pak, sopir yang Bapak bunuh tadi tidak terselamatkan?" tanya Rini masih penasaran.

"Iya. Dia masih sempat dibawa ke rumah sakit, tetapi tidak tertolong. Di sinilah sedihnya Bapak. Dia harus meninggalkan anak-anaknya yang bahkan saya dengar ada yang masih berusia satu tahun."

"Oh, ya?" Lalu, apakah pernah bertemu dengan istrinya setelah keluar dari penjara?" tanya Dita.

"Pernah sekali.Dia jualan nasi uduk di terminal Jaya."

"Siapa?" tanya Rini penasaran.

 "Bu Surtini!"

"Bu Surtini?" tanya Rini dengan kaget bukan kepalang, "dia ibuku. Berarti Bapak pembunuh bapakku!"

Seketika Rini pingsan. Pak Suryo tidak menyangka. Anak korban pembunuhan yang dilakukannya di masa lalu ada di depan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun