Mohon tunggu...
Ihsan Yahya
Ihsan Yahya Mohon Tunggu... Guru - pribadi

lakukan yang terbaik selagi kau bisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjuangan di Sudut Desa Terpencil

18 Januari 2021   13:15 Diperbarui: 18 Januari 2021   13:21 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ditengah perkampungan yang tenang dan damai, disitu aku hidup bersama keluargaku, keluarga kecil sederhana dan penuh dengan canda tawa. Aku lahir dari anak seorang petani, yang berhari hari bekerja diladang dan di sawah, ayahku bernama amirudin dan ibuku bernama roslaini, aku mempunyai dua orang kakak, satu laki-laki dan satu lagi perempuan.

Waktu itu kalender dirumahku menunjukkan tahun 2006, yang mana usiaku pada saat itu 11 tahun dan masih duduk dikelas 5 SD, hari-hari kami lalui dengan penuh kebahagiaan, akan tetapi kebahagiaan itu berubah menjadi tangis dan urayan air mata, karna ibuku jatuh sakit. Lama ayahku mencari obat untuk penyakit ibuku, akan tetapi takdir allah berkehendak lain.

Malam itu disebuah rumah sakit de kotaku, aku melihat dokter dan perawat sibuk keluar masuk dalam kamar rawat ibuku, dikarenakan waktu itu usiaku yang masih muda masih anak-anak jadi aku tidak tahu apa yang terjadi. Beberapa saat kemudian aku melihat adik ibuku keluar dari ruang tersebut, dan meneteskan air dan memelukku erat-erat sambil berkata sabar ya nak, tetapi aku masih belum mengerti dengan perkataan itu.

Tatkala itu sampai saat ini masih terdengar dan terbayang di ingatanku, saat mobil ambulan datang dengan suara khas bunyi serine mobil ambulance, tiba tiba ibuku ditutup dengan kain putih dan dibawa kemobil tersebut, baru saat itu aku tahu bahwa ibuku telah pergi meninggalkanku untuk selamanya lalu airmataku menetes mengalir begitu deras tampa henti.

Ditengah malam yang hening suara bunyi sirene mobil ambulan masih terdengar ditelingaku, dan ditepi jalan raya disimpang jalan masuk kedeseku sudah banyak warga menunggu kedatangan ambulan tersebut, dikarenakan jalan kedesaku waktu itu masih berlumpur maka warga membantu mendorong mobil ambulan hingga tibalah mubil tersebut didesa nanjauh ditepi sawah.

Di pagi harinya ibuku masih belum dikuburkan, karena masih menunggu kakakku yang dijemput oleh warga di kota nan jauh, kakakku waktu itu sedang melaksanakan kukerta, setibanya kakakku dirumah butiran air mataku kembali mengalir begitu deras diiringi dangan air mata kakkakku sambil kami bepelukan, sambil aku berkata, kak kita sudah tak punya ibu lagi mendengar perkataanku kami bertiga semakin erat berpelukan dan warga yang hadir untuk takziah juga ikut mengeluarkan air mata dikala melihat kami kakak beradik yang saling berangkulan.

Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa hampir satu tahun aku menempuh kehidupan ini tampa ditemani seorang malaikat yang bernama ibu, aku berfikir bahwa penderitaan ini sudah berakhir, akan tetapi allah berkehendak lain, tatkala itu ayahku menikah lagi, dan di ikuti oleh kakakku yang pertama juga menikah. Saat itu aku kembali dilanda kegelisahan hati karena memikirkan kemana tempat mengadu, siapa yang harus ku ikuti, mau ikut dengan ayah tetapi aku merasa takut sama ibu tiri, karena aku mendengar orang mengatakan ibu tiri itu orang yang kejam, kalau ikut sama kakak yang pertama juga aku merasa takut, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal bersama kakak perempuankku yang masih belum menikah.

Hari berganti hari yangku lalui dengan memikul beban yang begitu berat di pundakku, bagai mana tidak anak yang baru berusia 12 tahun yang masih duduk di bangku kelas 6 sd harus menjadi tulang punggung keluarga, aku tak mungkin menyuruh kakak prempuanku mengerjakan pekerjaan lak-laki maka akulah yang harus melakukannya.

Takbeberapa lama kemudian kakak perempuanku juga menikah, aku berpikir dengan adanya suami kakakku membuat beban dipundakku bisa berkurang, beberapa bulan sudah berlalu aku melihat ada yang menjanggal dimuka kakak perempuanku, aku merasa ada sebuah masalah yang dia rahasiakan dariku tetapi aku tak bertanya dan takmau berkomentar,  Akan tetapi lama kelamaan perkataan yang pedih itu sampai juga ketelingaku, bahwa suami kakakku merasa terganggu dengan kehadiranku dikeluarganya, dia mengatakan bahwa aku cuman bisa makan saja, dia mengatakan bahwa aku tak mau membantunya bekerja, mendengar perkataan tersebut aku hanya bisa menundukan kepala dan aku tak berkata apa-apa.

Malam harinya aku tak bisa tidur memikirkan perkataan suami kakakku, aku termenung sambil berkata “ ya tuhan kenapa nasib ku begini” lalu aku teringat dengan ibuku dan kembali berkata “ ibu, kenapa ibu meninggalkan aku, aku tak sanggup menhadapi kehidupan ini, lebih baik ibu bawa aku bersamamu” tampa terasa air matakupun menetes dipipiku.

Malam itu aku tak tidur sampai pagi, aku berpikir apa yang harus aku lakukan, dikarenakan aku tak ingin kakakku bertengkar dengan suaminya dan aku tak ingin keluarga mereka jadi berantakan maka aku memilih meninggalkan keluarga kakakku.

Sekarang aku tinggal bersama kakek dan nenekku yang sudah tua renta, di usia senja mereka mau menambah beban dengan membawaku dalam kehidupan mereka. Sekarang aku sudah duduk dibangku SMP yang pertanda bahwa pejuangan dan beban baru semakin bertambah. Aku tak mau membebani kakek dan nenekku yang sudah tua sehingga untuk biaya sekolah dan biaya hidup aku cari sendiri, sepulang sekolah aku mencari uang dengan cara pergi memancing disawah sehingga dengan hal tersebut aku bisa membeli buku, pena dan perlengkapan sekolahku yang lain, tak terkecuali di hari libur sperti hari minggu, aku memanfaatkan waktu tersebut dengan cara menolong para petani diladang dan disawah. Aku tak pernah memilih pekerjaan yang diberikan, selagi itu halal maka aku tidak menolaknya.

Terkadang aku merasa iri dengan anak-anak yang lain, karena mereka begitu mudah mendapatkan uang dengan meminta kepada orang tuanya, akan tetapi untuk mendapatkan uang aku harus kerja keras membanting tulang, dan tak ketinggalan aku juga harus membantu kakek dan nenekku untuk mencari uang.

Terkadang ditengah malam sering aku terbangun dan dan termenung sendiri, lalu aku berkata didalam hati ”ya Allah apa kesalahanku kenapa begitu berat cobaan yang kau berikan” tanpa terasa airmatakupun kembali menetes.

Aku tak ingin orang lain tahu apa yang aku rasakan, sehingga aku selalu tersenyum untuk menyembunyikan kepiluan di hati. Aku tak ingin orang lain merasa iba kepadaku, aku tak ingin orang lain merasa kasiahan kepadaku, maka aku selalu menampilkan wajah yang selalu tersenyum.

Tahun in merupakan hari raya ketiga, malaksanakan hari raya tampa ditemani oleh ayah dan ibunda tercinta, di pagi hari raya saat langkah kaki pertama dilangkahkan suara takbir dimasjid mulai terdengar, maka air matakupun mulai menetes tetapi aku tak ingin orang lain tahu tentang apa yang aku rasakan, lalu aku hapus air mata dipipiku dan aku berjalan dengan cepat kemajid,

Akan tetapi disaat khatib hari raya menyampaikan khutbah, tibalah saat dimana khatib menceritakan kisah anak yatim piayatu di saat berhari raya, khatib mengatakan:

Siapa yang harus di beri sedekah, merekalah anak yatim piatu yang sudah tidak mempunyai orang tua lagi, selesai solat ini mari kita cari mereka, dimana mereka berada mungkin nereka apakah meeka sedang meratap ditempat tidur ataukah mereka sedang menangisis batunisan ayah Dn ibunda mereka, sambil berkata: 

Wahai ayah dan ibunda tercinta, hari ini adalah hari yang paling bahagia bagi yang kaya, hari yang pahit bagi kami yang ayah bunda tinggalkan, andai ayah masih hidup dan bunda masih ada mungkin ayah dan ibunda merasa iba, ayah dan ibunda tercinta, kami datang kepadamu untuk mengadu seperti dahulu, baju yang dulu ayah belikan kini tinggal secabik kain usang, sepatu baru yang ibu pakaikan hanya menyisakan sehelai benang rapuh.

Dimana ibu kini kami rindu pelukan hangat dan kasih sayang ibu, ayah.. mengapa ayah tega meninggalkan kami yang belum siap menerima kenyataan ini, pulanglah ayah pulanglah ibu jangan tidur terlalu lama, anak tiada tempat mengadu, tiada tempat meminta hidup tinggal sebatang kara.

Wahai ayah ibunda tercinta adakah kalian mendengar suara kami adakah terbayang tangis kami, hidup didunia tanpa ayah dan ibunda tiada satupun yang peduli, semenjak ibu dan ayah tiada kami tak punya sepatu baru kami tak dapat baju baru, kembalilah ayah.. kembalilah ibu.. jangan biarkan anakmu yang malang menangisi btu nisan ini jangan biarkan kami meneteskan airmata pada tanah yang merah ini.

Disaat mendengar kata-kata khatib tesebut seakan-akan aku ingin menangis sekuat-kuatnya, karena apa yang di sampaikan khatib dalam khutbahnya sangat sesuai dengan apa yang aku alami saat ini, tetapi aku tidak mau orang lain tahu, sehingga aku menahannya kuat-kuat, akan tetapi butiran air mata itupun jatuh juga dipipiku.

Hari-hari aku lalui sperti biasa, pergi kesekolah kemudian bekerja, memang aku tak bisa mengikuti kamajuan zaman seperti teman-temanku yang lain, karena aku harus berhemat untuk biaya hidupku dan biaya sekolahku.

Disekolah aku termasuk siswa yang berprestasi, karena aku selalu mendapat peringkat satu saat pengambilan rapor, makanya guru desekolahku sangat menyayangiku, mereka sangat tahu keadaan hidupku yang serba kekurangan, sehingga disaat waktu libur sekolah mereka mencariku untuk membantu mereka bekerja di ladang dan disawah dan terkadang mereka memberiku gaji yang berlebih.

Beberapa tahun sudah ku lalui hidup bersama kakek dan nenekku, aku merasa bahwa kesedihan dan penderitaanku sudah berkurang dan aku rasa akan menghilang, akan tetapi Allah berkehendak lain cobaan itu datang lagi menghampiri hidupku, karena nenekku jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Akau kembali kerelung kasdihan. Seakan-akan aku putus asa dan tak mau lagi melangkah.

Aku mengadu kepada tuhan, dalam do’a aku berkata:

“ ya Allah apa lagi yang engkau rencanakan untukku, aku sudah tak sanggup lagi menerima kenyataan ini, apa yang harus aku perbuat ya allah, kenapa air mata ini selalu kau buat mengalir”

Aku termenung dan termenung, lalu aku sadar akan ada hikmah yang besar akan diberikan oleh allah dibalik air mata ini.

Hari demi hari aku lalui bersama kakekku yang sudah tua, aku ingin membahagiakan beliau, sehingga segala pekerjaan aku lakukan sendiri tampa membawa beliau, karena aku tak ingin beliau merasa letih dan kepayahan.

Sekarang aku sudah duduk di bangku kelas tiga SMP sebentar lagi aku akan melaksanakan ujian nasional dan ujian akhir sekolah, itu pertanda bahwa celana biru akan aku tinggalkan, namun hal tersebut membuat aku sering murung dan merenung, sehingga sahabatku sering bertanya kenapa aku sering melamun, aku tak pernah memberitahukan kepada mereka apa masalahku.

Ujian nasional dan ujian sekolah sudah selesai dilaksanakan, dan gurupun sudah mengumumkan bahwa kami lulus semuannya dan aku mendapatkan nilai yang paling tinggi, di saat hari perpisahan di sekolah aku memberitahukan kepada guru dan teman temanku, sambil air mata menetes dipipiku, aku berkata bahwa perjuanganku hanya bisa sampai disini, aku tak bisa melanjutkan pedidikanku ketingkat SMA karena aku tak punya biaya dan kakekku sudah tua.

Ketika itu gurukupum memelukku dan tak bisa menahan air mata yang menetes dipipinya, dia berkata yang perkataan beliau itu masih aku ingat sampai sekarang :

Nak menuntut ilmu itu tak harus disekolah, dirumah kita juga bisa menuntut ilmu dengan cara banyak-banyak membaca dan bertanya apabila kamu tau maksudnya, bapak yakin suatu saat nanti kamu akan bisa berada di sekolah formal menempuh pendidikan seperti anak-anak lainnya, yang penting sekarang kamu harus sabar ya nak.

Mendengar perkataan tersebut juga membuat semua sahabatku ikut menangis, karena mereka merasa iba dan kasihan kepadaku, mereka sudah menganggap aku sebagai saudaranya dan akupun sudah mengangap mereka sebagai saudaraku, mereka berkata satu sama lain :

Kenapa dia yang harus ditingalkan, dia tempat kita bertanya disaat kita tidak tahu, dia tempat kita bertanya ketika kita tidak paham, kenapa harus dia yang tertinggal, kata salah satu sahabatku

Di saat sekolah memang teman-temanku sangat suka bertanya masalah pelajaran kepadaku, dan aku selalu memberikan yang terbaik kepada mereka, dan apabila guru menyuruh kerja kelompok mereka sealalu ingin satu kelompok denganku, dan aku tidak pernah mengecewakan mereka.

Hari itu merupakan hari perpisahanku dengan teman-temanku, mereka semua melanjutkan pendidikan mereka, ada yang melanjutkan ke SMA, SMK dan ada juga ke Madrasah, tetapi hanya aku sendiri yang tidak melanjutkan sekolah.

Hari-hari aku lalui dengan terus selalu merenung, bagaimana tidak rasanya kepengen sekali memakai pakain putih abu-abu yang dipakai teman-temanku saat berangkat sekolah.

Di saat sore sabtu teman-temanku pulang dari kota untuk uang jajan dan perbekalan selama sepekan dari orang tua mereka, setibanya di desa sahabatku menemuiku dan menceritakan pengalaman mereka di sekolah baru, aku hanya bisa mendengarkan sambil merenung.

Keesokan harinya hari minggu pertanda teman-temanku akan berangkat kembali kekota tempat mereka sekolah, saat itu kakiku ingin melangkah dan mulutku ingin berkata, bahwa aku ingin ikut bersama kalian tetapi apalah dayaku.

Dalam benakku aku selalu berkata bahwa aku ingin sekolah, tetapi aku tak berani mengatakannya sama ayah dan kakakku, apa lagi sama kakekku yang sudah tua, berhari-hari aku lalui dengan terus merenung, sedikit makan dan sedikit tidur, hal tersebut membuatku jatuh sakit.

Sehingga aku harus dirawat dirumah sakit, pada saat itu kakek dan saudara ibuku memulangkan aku keayah kandungku, jadi aku tinggal di rumah ayah dan ibu tiriku, sudah berbulan-bulan aku sakit dan tak ada tanda akan sembuh, tubuhku sudah kurus dan bahkan ada yang mengatakan bahwa hidupku tak lama lagi, berkali-kali keluar masuk rumah sakit tetapi tak ada perubahan menuju sehat. Bahkan uang yang aku kumpulkan sdikit-demi sedikit untuk kehidupan sehari-hari kini sudah habis untuk biaya rumah sakit.

Sahabat-sahabatkupun juga datang menjengukku dan mereka sangat merasa iba dan kasihan kepadaku, karena dulu aku tempat mereka meminta bantuan dan pertolongan, tetapi sekarangan mereka tidak bisa membantuku, llalu mereka meminta maaf sambil mengulurkan beberapa amplop untuk membantu pengobatanku.

Hari hari berlalu tanpa ada tanda-tanda akan kesembuhanku, hingga suatu hari kakakku yang pertama datang menjengukku dan membawa sebuah formulir bahwa aku akan sekolah di sebuah madrasah swasta, aku tak tau bagai mana mereka tahu bahwa aku kepengen sekolah, semenjak itu aku merasa semangat dalam hidup, mulai mau makan sedikit demi sedikit, beberpa minggu berlalu akupun sudah merasa sehat dan kakakku mengantarkanku ke madrasah yang dia katakan.

Aku merasa bahagia bisa sekolah dan bertemu dengan teman-teman baru, hari-hari aku lalui dengan penuh kegembiraan, tak terasa sudah tiga bulan aku belajar di madrasah tersebut, memasuki bulan ke empat aku belajar di madrasah, aku baru sadar bahwan uangku pemberian orang-orang waktu aku sakit mulai menipis tinggal seikit.

Sehingga aku mulai berjalan kaki pergi dan pulang sekolah sejauh lebih kurang 3 km untuk menghemat biaya, suatu hari uang yang aku miliki sudah habis dan aku tidak memiliki uang sepersenpun, aku malu dan taku memintanya kepada ayahku.

Berhari hari aku lalui tampa ada uang sepersenpun yang aku miliki, dan disekolahpun tak ada program beasiswa yang dibeikan, hingga aku sudah tidak tahan lagi, aku teringat kata guruku bahwa belajar tak harus disekolah, bahwa belajar itu bisa dirumah, asalkan ada niat di hati, lalu aku berpikir dengan mantap dan aku memutuskan berhenti belajar disekolah dan tetap belajar dirumah.

Sore itu aku pamit ke ayah dan ibu tiriku, bahwa aku ingin pulang kedesa untuk menjenguk kakek, dan dan ayahyku belum tahu bahwa aku sudah berhenti sekolah, lalu aku pergi ke tepi jalan sambil melihat siapa tahu ada warga desa yang aku kenal dan mau memberiku tumpangan.

Lama aku menunggu, dikejauhan aku melihat seseorang menaiki motor dan berhenti didepanku lalu menyapaku

Assalamu’alaikum Akhi

W’alaikum salam “ jawabku, ternyata dia adalah Roles sahabat saya waktu SMP,

Mau kemana? Tanyanya

Mau pulang kedesa

Ya udah bareng saya aja” kata dia

Tidak usah nanti ngrepotin,

Tak apa-apa 

Akhirnya aku pulang kedesa bersama sahabat lamaku, di perjalanan dia banyak bercerita tentang sekolahnya, dan aku hanya mendengarkan apa yang dia ucapkan.

Akhirnya kami tiba disebuah desa yang sangat aku kenal, bagaimana tidak didesa tersebut aku dilahirkan, didesa tersebut aku dibesarkan, yaitu desa pauh tinggi, aku merasa tenang dan nyaman, kebentangkan tanganku, ku tadahkan mukaku kelangit sambil menghirup napasa panjang akupun berkata akhirnya aku kembali kedesaku.

BERSAMBUNG...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun