Waktu itu, kau selalu memberikan kehangatan. Disela hatiku yang kadang merasakan kesepihan, dan amat butuh kasih sayang. Aku yang memilih pergi merantau jau dari keluargaku, meninggalkan mereka yang ku sayang dan tentunya kamu purnama. Wanita terbaik ciptaan tuhan.
Semua masa sulit kita lalui, besarnya cintaku tak bisa ku bendung lagi. Walau pada akhirnya aku berhenti untuk berjuang, langkahku jatuh, motivasiku pun buyar. Harus ada yang ku korbankan. Demi cinta aku memilih mundur dan meninggalkan.Â
Bila hanya memberikanmu cinta, aku bisa. Bukan hanya cinta, bahkan nyawa. Tapi, hidup tak sedramatis itu. Membangun mahligai hidup berdua juga memerlukan rupiah. Bukan sekedar kecakapan didalam berkata-kata. Aku selalu mencoba membuktikan bahwa aku pantas, tapi lama kelamaan aku merasa telah gagal. Menjau darimu memang suatu kesalahan?
Tapi melihatmu menderita hidup dengan ku. Itu adalah kehancuran. Kehancuranku, yang tak ingin melihatmu kecewa. Melihatmu sedih, dan kau di anggap salah memilih laki-laki untuk menjadi panutan hati. Imammu, bahkan suamimu. Purnama? Semua sudah terjadi seperti yang ku harapkan.
Ku terima semua kebencianmu, kecewa cintamu padaku. Ku iklaskan kehancuran hatimu untuk turut pergi menjau. Sebab itu pantas dilakukan untuk sebuah pengorbanan. Â Agar aku tak lagi kau kenang. Maafkanlah aku yang perna berjanji tapi mengingkari,
 "Assalammuallahikum mas?"
 "Wa'allahikumsalam dek."
 "Hmm... lagi apa? Udah sholat."
 "Lagi ngopi, sholat belum. Palingan nanti kalo sudah mau tidur."
 "Iya lah. Jangan lupa yah! Hm.. kalo makan sudah belum?"
 "Makan sudah."