"Please, stay away from me right now!"
Daniel terpaksa melepaskan gandengan tangannya saat mendengar teriakanku yang begitu lantang. Dia pasti tidak ingin orang-orang di pelataran kampus ini salah paham melihat adegan pertengkaran kami. Awalnya kupikir orang seperti dia sudah tidak punya urat malu dengan tetap bersikukuh menyeretku masuk ke dalam mobilnya. Ish.
Mungkin Daniel yang cengengesan itu menganggap ini semua hanya bahan bercandaan. Tapi nyatanya aku memang sedang mengajak bertengkar dengan pemuda itu. Aku benar-benar muak dengan sikapnya satu minggu terakhir ini. Semenjak keluarganya dan keluargaku memaksa kami melakukan pertunangan, dia bersikap seolah-olah aku adalah budaknya yang selalu harus tunduk dengan apa yang dikatakannya.Â
"Oke, oke sorry," sahutnya sembari mengangkat kedua tangan pertanda menyerah. Aksi teriakanku barusan rupanya cukup ampuh untuk bisa terlepas dari jeratan pria jangkung yang menyebalkan ini. Setelah ini aku harus segera pergi menjauh darinya karena aku tidak ingin Nathan menjadi berprasangka yang bukan-bukan tentang kami jika melihatnya. Aku memang belum cukup kuat untuk memberitahunya perihal pertunangan paksaan ini. Sungguh aku belum ingin berpisah dengan Nathan. Seharusnya dialah yang meminangku, bukan pria urakan seperti Daniel. Jika dibandingkan dengannya, Nathan-ku seratus kali jauh lebih baik.
"Aku hanya menjalankan perintah dari mama. Mama berpesan agar aku bisa menjemput dan membawamu ke butik tante Vera untuk fitting gaun," lanjutnya yang jelas-jelas membela diri dengan membawa-bawa nama mama. Apa tadi dia bilang? Mama? Dih. Dasar sok akrab.
"Dengar ya, Daniel Mahendra, mahasiswa pasca sarjana yang terhormat, aku nggak butuh gaun pengantin konyol itu. Dan aku tidak keberatan jika pernikahan kita akan terancam gagal gara-gara sikapku yang menggila. Lagi pula, memang itulah harapanku!"
Aku pikir aku sudah mengatakan kalimat itu dengan sangat ketus. Siapapun yang mendengarnya pasti akan merasakan hati yang tersayat-sayat. Begitu perih dan menderita. Itu bagus. Kurasa dia akan jengkel dan memintaku untuk memutuskan tali pertunangan kami. Semoga saja.
Kulihat pria berwajah tirus itu menunduk memperlihatkan lekukan rahangnya yang cukup tegas. Dia menghela nafas sambil memainkan batu kerikil dengan ujung sneakersnya. Apa dia sedih? Wau, sepertinya sikapku berhasil membuatnya muak terhadapku.
"Elsa," panggilnya lirih.
"Perlu kau tahu, meskipun kita dijodohkan, namun, perasaanku padamu bukanlah paksaan. Aku benar-benar menyukaimu, Els. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang memaksaku untuk menyukaimu. Perasaanku padamu sungguh nyata. Aku harap kau tahu itu," lanjutnya penuh gombalan murahan.