Mohon tunggu...
malik
malik Mohon Tunggu... Mahasiswa

hobi saya adalah mengkritik pemerintah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Marshall, Turner, dan Kita: Menggugat Makna Warga Negara di Era Global

12 Oktober 2025   22:37 Diperbarui: 12 Oktober 2025   22:37 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: teori-teori turner dan marshall

Kewarganegaraan yang Kian Retak

Kewarganegaraan, dalam pengertian klasik, selalu diasosiasikan dengan hak dan kewajiban dalam bingkai negara-bangsa. Ia adalah status legal yang mengikat individu pada sebuah entitas politik tertentu. Namun, dalam era globalisasi yang ditandai oleh arus migrasi, digitalisasi, dan krisis keadilan sosial, makna kewarganegaraan tampak bergeser: dari sesuatu yang diberikan, menjadi sesuatu yang diperjuangkan.

Dua sosiolog besar, T.H. Marshall dan Bryan S. Turner, menjadi titik pijak penting dalam memahami dinamika ini. Marshall, dalam karya monumental Citizenship and Social Class (1950), melihat kewarganegaraan sebagai proyek historis yang berkembang dari hak sipil menuju hak politik dan akhirnya hak sosial. Sementara Turner, beberapa dekade kemudian, mengajukan tafsir yang lebih kompleks: kewarganegaraan tidak hanya persoalan hak, tetapi juga relasi kekuasaan, identitas, dan eksklusi sosial.

Pertanyaannya kini: bagaimana warisan pemikiran Marshall dan Turner dapat kita gunakan untuk memahami kondisi kewarganegaraan hari ini---ketika batas negara kabur, kesenjangan sosial melebar, dan identitas kewarganegaraan sering diperebutkan di ruang virtual maupun nyata?

Tulisan ini mencoba mengajukan gugatan intelektual: apakah konsep klasik kewarganegaraan masih memadai, atau justru perlu ditafsir ulang agar tetap relevan dalam dunia yang terus berubah?

I. Jejak Pemikiran Marshall: Kewarganegaraan Sebagai Evolusi Sosial

Marshall melihat kewarganegaraan sebagai hasil perkembangan bertahap dari hak-hak sosial yang muncul bersamaan dengan transformasi masyarakat industri. Ia membaginya menjadi tiga dimensi utama:

  1. Hak sipil (civil rights) -- meliputi kebebasan individu, hak milik, dan keadilan hukum.

  2. Hak politik (political rights) -- mencakup partisipasi dalam kekuasaan politik, terutama hak memilih dan dipilih.

  3. Hak sosial (social rights) -- menjamin kesejahteraan dan standar hidup yang layak melalui pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial.

Bagi Marshall, kewarganegaraan bukan sekadar status hukum, melainkan proses historis menuju keadilan sosial. Ia menulis bahwa "citizenship is a status bestowed on those who are full members of a community." Artinya, kewarganegaraan tidak hanya tentang memiliki paspor, tetapi juga tentang diakuinya seseorang sebagai bagian penuh dari masyarakat.

Dalam konteks pasca-Perang Dunia II, teori Marshall menjadi dasar legitimasi bagi negara kesejahteraan (welfare state). Negara dipandang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar warga agar kesetaraan sosial dapat terwujud. Namun, di balik gagasan humanis itu tersimpan kritik: Marshall berbicara dari konteks masyarakat Eropa yang relatif homogen, sehingga kurang mempertimbangkan dimensi ras, gender, dan kolonialisme.

II. Turner dan Kritik atas Kewarganegaraan Modern

Bryan S. Turner, dalam karya seperti Citizenship and Social Theory (1993), menantang pandangan Marshall yang dianggap terlalu optimistik dan linear. Turner menegaskan bahwa kewarganegaraan tidak pernah benar-benar universal; ia selalu dikonstruksi dalam konteks kekuasaan. Menurutnya, "kewarganegaraan adalah proses sosial yang selalu mengandung eksklusi dan inklusi."

Turner memandang kewarganegaraan sebagai medan pertarungan antara negara dan masyarakat, antara mereka yang memiliki hak dan mereka yang dikecualikan. Ia memperkenalkan gagasan cultural citizenship---bahwa menjadi warga negara juga berarti diakui secara simbolik dan kultural, bukan sekadar administratif.

Dalam dunia yang kian global, Turner menilai bahwa bentuk-bentuk kewarganegaraan baru muncul: kewarganegaraan kosmopolitan, kewarganegaraan digital, hingga kewarganegaraan transnasional. Semua itu menunjukkan bahwa hubungan antara individu dan negara tidak lagi linier, melainkan cair dan berlapis.

Jika Marshall menekankan "penyertaan sosial" melalui kebijakan negara, maka Turner menyoroti "pembentukan identitas" dalam ruang sosial yang lebih luas. Kewarganegaraan tidak hanya ditentukan oleh hukum negara, tetapi juga oleh akses terhadap pengakuan sosial, simbolik, dan kultural.

III. Dari Hak Menuju Keberdayaan: Dimensi Sosial Kewarganegaraan

Sosiologi kewarganegaraan mengajarkan bahwa menjadi warga negara bukan hanya menerima hak, tetapi juga mempraktikkan partisipasi sosial. Dalam kerangka Marshall, kewarganegaraan berkembang melalui perluasan hak; namun dalam pandangan Turner, ia tumbuh melalui perjuangan sosial.

Kita dapat melihat contohnya di berbagai belahan dunia:

  • Gerakan buruh abad ke-19 menuntut hak-hak sosial yang kemudian diakui negara kesejahteraan.

  • Gerakan feminis abad ke-20 memperluas makna kewarganegaraan agar mencakup kesetaraan gender.

  • Dan kini, gerakan lingkungan hidup, hak digital, serta solidaritas lintas negara memperjuangkan "kewarganegaraan global" yang melampaui batas-batas nasional.

Proses ini menunjukkan bahwa kewarganegaraan adalah proyek sosial yang hidup. Ia terus dinegosiasikan antara negara dan warga, antara kepentingan ekonomi dan keadilan sosial. Seperti kata Turner, kewarganegaraan adalah "arena konflik dan solidaritas."

IV. Kewarganegaraan di Era Global: Antara Kosmopolitanisme dan Ketimpangan

Globalisasi membawa paradoks dalam wacana kewarganegaraan. Di satu sisi, mobilitas manusia meningkat: orang bisa bekerja lintas negara, belajar di luar negeri, bahkan memiliki identitas digital global. Namun di sisi lain, batas-batas nasional tetap tegas, terutama bagi mereka yang miskin, tidak berdokumen, atau berasal dari negara dunia ketiga.

Fenomena seperti refugee crisis, diskriminasi terhadap pekerja migran, dan ketimpangan akses teknologi menunjukkan bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk "menjadi warga dunia."

Marshall mungkin akan melihat hal ini sebagai fase baru dari perjuangan hak sosial; namun Turner akan menafsirnya sebagai bentuk ketimpangan struktural dalam sistem global. Kewarganegaraan global tidak otomatis berarti keadilan sosial global. Bahkan, ia bisa memperkuat eksklusi baru: mereka yang punya "modal global" (pendidikan, ekonomi, teknologi) menjadi warga dunia sejati, sementara yang lain tetap terperangkap dalam batas-batas geografis dan sosial.

V. Digital Citizenship: Wajah Baru Partisipasi Sosial

Dalam dunia digital, kewarganegaraan juga mengambil bentuk baru. Identitas sosial kini dibangun melalui media sosial, partisipasi politik dilakukan melalui platform daring, dan solidaritas sosial dapat muncul lintas batas negara.

Namun, "kewarganegaraan digital" ini juga problematik. Ia membuka ruang demokrasi baru, tetapi juga menghadirkan ketimpangan baru: siapa yang punya akses internet, siapa yang menguasai algoritma, siapa yang menentukan wacana publik.

Turner, jika hidup di era media sosial yang kini hiperaktif, mungkin akan mengatakan bahwa ruang digital menciptakan bentuk baru dari eksklusi sosial: warga yang tidak melek digital akan tersingkir dari ruang publik virtual. Sedangkan Marshall, dengan semangat kesetaraan sosialnya, mungkin akan menuntut agar negara menjamin hak digital setiap warga, sebagaimana ia dulu menuntut hak pendidikan dan kesejahteraan.

VI. Krisis Kewarganegaraan: Dari Nasionalisme ke Neoliberalisme

Sejak akhir abad ke-20, kebijakan neoliberal yang menekankan pasar bebas telah menggerus fungsi sosial negara. Hak sosial yang diperjuangkan Marshall perlahan dikomersialisasikan: pendidikan menjadi mahal, kesehatan menjadi bisnis, dan kesejahteraan sosial bergeser menjadi tanggung jawab individu.

Turner menyebut hal ini sebagai "erosion of social citizenship." Kewarganegaraan yang semula menjadi simbol solidaritas sosial kini digantikan oleh logika kompetisi. Warga negara dipandang sebagai konsumen, bukan anggota komunitas moral.

Fenomena ini terasa juga di Indonesia. Ketimpangan sosial meningkat, partisipasi politik kerap dangkal, dan kewarganegaraan sering direduksi menjadi sekadar kepatuhan administratif: membayar pajak, memiliki KTP, atau mengikuti pemilu setiap lima tahun. Padahal, menjadi warga negara seharusnya berarti ikut membentuk arah moral dan sosial bangsa.

VII. Relevansi bagi Indonesia: Dari Status Menuju Solidaritas

Dalam konteks Indonesia, pemikiran Marshall dan Turner menawarkan dua lensa penting. Dari Marshall, kita belajar bahwa negara harus menjamin hak-hak sosial warga agar kesetaraan tidak hanya menjadi retorika. Dari Turner, kita belajar bahwa kewarganegaraan tidak akan hidup tanpa partisipasi aktif dan pengakuan sosial.

Program seperti jaminan sosial, pendidikan inklusif, dan digitalisasi layanan publik dapat dibaca sebagai wujud implementasi prinsip Marshallian. Namun, jika kebijakan itu tidak disertai dengan kesadaran kolektif dan solidaritas sosial, ia hanya menjadi formalitas administratif.

Indonesia juga menghadapi tantangan kewarganegaraan yang bersifat kultural: intoleransi, polarisasi politik, dan eksklusi terhadap kelompok minoritas. Dalam konteks ini, pandangan Turner sangat relevan: kewarganegaraan harus diiringi dengan pengakuan terhadap keberagaman identitas. Menjadi warga negara berarti juga menerima "yang lain" sebagai bagian dari komunitas moral yang sama.

VIII. Menuju Kewarganegaraan yang Berkeadilan dan Reflektif

Dalam era global, kita membutuhkan paradigma baru tentang kewarganegaraan---yang tidak hanya menekankan status hukum, tetapi juga relasi sosial dan moral.

Dari Marshall, kita bisa mempertahankan ideal tentang hak sosial dan peran negara dalam menjamin kesejahteraan. Dari Turner, kita mendapat pelajaran bahwa kewarganegaraan sejati lahir dari perjuangan, pengakuan, dan partisipasi.

Kewarganegaraan masa depan haruslah bersifat reflektif, di mana setiap individu sadar akan haknya, tetapi juga peduli terhadap hak orang lain. Ia harus berkeadilan sosial, agar tidak hanya melayani mereka yang kuat dan kaya. Dan ia harus berdimensi global, agar solidaritas manusia tidak berhenti di batas negara.

IX. Penutup: Gugatan untuk Kita Semua

Kita hidup di zaman ketika status warga negara tidak lagi cukup dijelaskan oleh paspor atau KTP. Identitas kewarganegaraan kini ditentukan oleh sejauh mana kita berpartisipasi, berempati, dan memperjuangkan keadilan sosial di ruang nyata maupun maya.

Marshall memberi fondasi moral: kewarganegaraan adalah hak yang melekat pada setiap manusia. Turner memberi kritik tajam: hak itu tidak akan berarti tanpa kesadaran sosial dan perjuangan melawan ketimpangan.

Di tengah dunia yang dilanda krisis kepercayaan, populisme, dan disinformasi, mungkin saatnya kita bertanya: apakah kita masih benar-benar "warga negara," atau hanya penonton dalam sistem sosial yang semakin eksklusif?

Kewarganegaraan, sebagaimana dipahami oleh Marshall dan Turner, seharusnya bukan warisan, melainkan proyek sosial yang terus diperjuangkan. Maka, menggugat makna kewarganegaraan di era global bukan berarti menolak negara, tetapi menuntut agar negara dan masyarakat kembali pada jantung moralnya: kesetaraan, solidaritas, dan kemanusiaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun