Mohon tunggu...
malik
malik Mohon Tunggu... Mahasiswa

hobi saya adalah mengkritik pemerintah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Marshall, Turner, dan Kita: Menggugat Makna Warga Negara di Era Global

12 Oktober 2025   22:37 Diperbarui: 12 Oktober 2025   22:37 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: teori-teori turner dan marshall

Sejak akhir abad ke-20, kebijakan neoliberal yang menekankan pasar bebas telah menggerus fungsi sosial negara. Hak sosial yang diperjuangkan Marshall perlahan dikomersialisasikan: pendidikan menjadi mahal, kesehatan menjadi bisnis, dan kesejahteraan sosial bergeser menjadi tanggung jawab individu.

Turner menyebut hal ini sebagai "erosion of social citizenship." Kewarganegaraan yang semula menjadi simbol solidaritas sosial kini digantikan oleh logika kompetisi. Warga negara dipandang sebagai konsumen, bukan anggota komunitas moral.

Fenomena ini terasa juga di Indonesia. Ketimpangan sosial meningkat, partisipasi politik kerap dangkal, dan kewarganegaraan sering direduksi menjadi sekadar kepatuhan administratif: membayar pajak, memiliki KTP, atau mengikuti pemilu setiap lima tahun. Padahal, menjadi warga negara seharusnya berarti ikut membentuk arah moral dan sosial bangsa.

VII. Relevansi bagi Indonesia: Dari Status Menuju Solidaritas

Dalam konteks Indonesia, pemikiran Marshall dan Turner menawarkan dua lensa penting. Dari Marshall, kita belajar bahwa negara harus menjamin hak-hak sosial warga agar kesetaraan tidak hanya menjadi retorika. Dari Turner, kita belajar bahwa kewarganegaraan tidak akan hidup tanpa partisipasi aktif dan pengakuan sosial.

Program seperti jaminan sosial, pendidikan inklusif, dan digitalisasi layanan publik dapat dibaca sebagai wujud implementasi prinsip Marshallian. Namun, jika kebijakan itu tidak disertai dengan kesadaran kolektif dan solidaritas sosial, ia hanya menjadi formalitas administratif.

Indonesia juga menghadapi tantangan kewarganegaraan yang bersifat kultural: intoleransi, polarisasi politik, dan eksklusi terhadap kelompok minoritas. Dalam konteks ini, pandangan Turner sangat relevan: kewarganegaraan harus diiringi dengan pengakuan terhadap keberagaman identitas. Menjadi warga negara berarti juga menerima "yang lain" sebagai bagian dari komunitas moral yang sama.

VIII. Menuju Kewarganegaraan yang Berkeadilan dan Reflektif

Dalam era global, kita membutuhkan paradigma baru tentang kewarganegaraan---yang tidak hanya menekankan status hukum, tetapi juga relasi sosial dan moral.

Dari Marshall, kita bisa mempertahankan ideal tentang hak sosial dan peran negara dalam menjamin kesejahteraan. Dari Turner, kita mendapat pelajaran bahwa kewarganegaraan sejati lahir dari perjuangan, pengakuan, dan partisipasi.

Kewarganegaraan masa depan haruslah bersifat reflektif, di mana setiap individu sadar akan haknya, tetapi juga peduli terhadap hak orang lain. Ia harus berkeadilan sosial, agar tidak hanya melayani mereka yang kuat dan kaya. Dan ia harus berdimensi global, agar solidaritas manusia tidak berhenti di batas negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun