Dan kini, gerakan lingkungan hidup, hak digital, serta solidaritas lintas negara memperjuangkan "kewarganegaraan global" yang melampaui batas-batas nasional.
Proses ini menunjukkan bahwa kewarganegaraan adalah proyek sosial yang hidup. Ia terus dinegosiasikan antara negara dan warga, antara kepentingan ekonomi dan keadilan sosial. Seperti kata Turner, kewarganegaraan adalah "arena konflik dan solidaritas."
IV. Kewarganegaraan di Era Global: Antara Kosmopolitanisme dan Ketimpangan
Globalisasi membawa paradoks dalam wacana kewarganegaraan. Di satu sisi, mobilitas manusia meningkat: orang bisa bekerja lintas negara, belajar di luar negeri, bahkan memiliki identitas digital global. Namun di sisi lain, batas-batas nasional tetap tegas, terutama bagi mereka yang miskin, tidak berdokumen, atau berasal dari negara dunia ketiga.
Fenomena seperti refugee crisis, diskriminasi terhadap pekerja migran, dan ketimpangan akses teknologi menunjukkan bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk "menjadi warga dunia."
Marshall mungkin akan melihat hal ini sebagai fase baru dari perjuangan hak sosial; namun Turner akan menafsirnya sebagai bentuk ketimpangan struktural dalam sistem global. Kewarganegaraan global tidak otomatis berarti keadilan sosial global. Bahkan, ia bisa memperkuat eksklusi baru: mereka yang punya "modal global" (pendidikan, ekonomi, teknologi) menjadi warga dunia sejati, sementara yang lain tetap terperangkap dalam batas-batas geografis dan sosial.
V. Digital Citizenship: Wajah Baru Partisipasi Sosial
Dalam dunia digital, kewarganegaraan juga mengambil bentuk baru. Identitas sosial kini dibangun melalui media sosial, partisipasi politik dilakukan melalui platform daring, dan solidaritas sosial dapat muncul lintas batas negara.
Namun, "kewarganegaraan digital" ini juga problematik. Ia membuka ruang demokrasi baru, tetapi juga menghadirkan ketimpangan baru: siapa yang punya akses internet, siapa yang menguasai algoritma, siapa yang menentukan wacana publik.
Turner, jika hidup di era media sosial yang kini hiperaktif, mungkin akan mengatakan bahwa ruang digital menciptakan bentuk baru dari eksklusi sosial: warga yang tidak melek digital akan tersingkir dari ruang publik virtual. Sedangkan Marshall, dengan semangat kesetaraan sosialnya, mungkin akan menuntut agar negara menjamin hak digital setiap warga, sebagaimana ia dulu menuntut hak pendidikan dan kesejahteraan.
VI. Krisis Kewarganegaraan: Dari Nasionalisme ke Neoliberalisme