Kewarganegaraan yang Kian Retak
Kewarganegaraan, dalam pengertian klasik, selalu diasosiasikan dengan hak dan kewajiban dalam bingkai negara-bangsa. Ia adalah status legal yang mengikat individu pada sebuah entitas politik tertentu. Namun, dalam era globalisasi yang ditandai oleh arus migrasi, digitalisasi, dan krisis keadilan sosial, makna kewarganegaraan tampak bergeser: dari sesuatu yang diberikan, menjadi sesuatu yang diperjuangkan.
Dua sosiolog besar, T.H. Marshall dan Bryan S. Turner, menjadi titik pijak penting dalam memahami dinamika ini. Marshall, dalam karya monumental Citizenship and Social Class (1950), melihat kewarganegaraan sebagai proyek historis yang berkembang dari hak sipil menuju hak politik dan akhirnya hak sosial. Sementara Turner, beberapa dekade kemudian, mengajukan tafsir yang lebih kompleks: kewarganegaraan tidak hanya persoalan hak, tetapi juga relasi kekuasaan, identitas, dan eksklusi sosial.
Pertanyaannya kini: bagaimana warisan pemikiran Marshall dan Turner dapat kita gunakan untuk memahami kondisi kewarganegaraan hari ini---ketika batas negara kabur, kesenjangan sosial melebar, dan identitas kewarganegaraan sering diperebutkan di ruang virtual maupun nyata?
Tulisan ini mencoba mengajukan gugatan intelektual: apakah konsep klasik kewarganegaraan masih memadai, atau justru perlu ditafsir ulang agar tetap relevan dalam dunia yang terus berubah?
I. Jejak Pemikiran Marshall: Kewarganegaraan Sebagai Evolusi Sosial
Marshall melihat kewarganegaraan sebagai hasil perkembangan bertahap dari hak-hak sosial yang muncul bersamaan dengan transformasi masyarakat industri. Ia membaginya menjadi tiga dimensi utama:
Hak sipil (civil rights) -- meliputi kebebasan individu, hak milik, dan keadilan hukum.
Hak politik (political rights) -- mencakup partisipasi dalam kekuasaan politik, terutama hak memilih dan dipilih.
Hak sosial (social rights) -- menjamin kesejahteraan dan standar hidup yang layak melalui pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial.
Bagi Marshall, kewarganegaraan bukan sekadar status hukum, melainkan proses historis menuju keadilan sosial. Ia menulis bahwa "citizenship is a status bestowed on those who are full members of a community." Artinya, kewarganegaraan tidak hanya tentang memiliki paspor, tetapi juga tentang diakuinya seseorang sebagai bagian penuh dari masyarakat.