Siapa sangka, ongkos menahan diri di gerbong ekonomi yang riuh ternyata jauh lebih mahal daripada sekadar tiket eksekutif yang tenang. Di antara bising video tanpa earphone dan tatapan penuh tanya, sebentuk lapang dada terasa seperti kemewahan yang tak terbeli.
Pagi itu, alih-alih rebah nyaman di gerbong eksekutif yang sunyi, saya memilih Ekonomi menuju Purwokerto. Bukan sedang berfilosofi tentang kesederhanaan, lebih tepatnya karena kantong yang makin cekak dari hari ke hari.
Di Gerbong Ekonomi 2 KA Joglosemarkerto, keheningan adalah barang mewah yang sulit ditemukan. Meski gerbong ekonomi kini secara umum jauh berbeda, AC tak lagi menusuk ubun-ubun, kursi tertata rapi dua-dua menghadap depan, dan kebersihan lumayan terjaga, tetap saja riuh rendah suara tak terhindarkan.
Ada yang memutar video dari gawainya tanpa earphone, entah sinetron atau ceramah agama bercampur dengan obrolan penumpang. Anak-anak pun tak ketinggalan menyumbang keriuhan dengan celotehan dan gerakan piawai mereka.
Beberapa penumpang lain terlihat terlalu kepo, entah karena bosan, atau memang rasa ingin tahu mereka sedang tak tertahan. Ada yang menatap terlalu lama, ada yang saling bertanya dengan santai, “Mau ke mana, Mas?” atau, “Asalnya dari mana?”
Biasanya, respons pertama saya untuk keriuhan di gerbong ekonomi, adalah gerutuan dalam hati. Semacam silent treatment yang berujung pada helaan napas berat, lirikan tajam, atau sumpah serapah yang hanya bergema di kepala sendiri. Namun, pagi itu berbeda. Saya memilih diam. Bukan tiba-tiba tercerahkan karena telah mendapatkan wangsit. Lebih karena energi untuk berperang dengan kebisingan eksternal sudah terkuras habis oleh riuhnya pergolakan internal.
Di balik tulang rusuk ini, gaduhnya sudah cukup memekakkan. Daftar tagihan yang belum menemui titik lunas, mimpi bisnis yang layu sebelum sempat merekah, dan jalinan hubungan yang merenggang tanpa sempat diikat kembali. Hidup terasa seperti miniatur gerbong ekonomi yang saya tumpangi ini. Penuh sesak, riuh, namun tetap setia pada relnya, bergerak sesuai jadwal. Tak ada pilihan lain selain duduk tenang di tengah semua itu, berupaya sekuat tenaga agar tak ada bagian diri yang tergelincir jatuh.
Dr. Molly Crockett dari University of Cambridge menyebutkan bahwa fluktuasi hormon serotonin dalam otak punya pengaruh besar dalam cara kita mengatur respons emosional, termasuk amarah. Artinya, marah itu fitrah, tapi membiarkannya liar adalah pilihan yang bisa kita cegah.
Menahan amarah bukan berarti menelan luka mentah-mentah, melainkan belajar melindungi diri dari ledakan yang sia-sia. Barangkali, duduk tenang di tengah kebisingan kereta ini adalah latihan kecil untuk itu. Bukankah Rasulullah Saw. pernah bersabda tentang orang kuat yang mampu menahan diri saat marah?
"Orang yang kuat itu bukanlah karena jago gulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah."