Matahari pagi menyusup lewat pintu kaca geser aluminium hitam Griya GUSDURian yang mulai goyah. Cahaya itu membentuk siluet di dinding yang terasa lebih sepi dari biasanya. Angin pagi masuk perlahan, menggoyangkan daun tanaman hias yang tumbuh dalam bekas kemasan minuman. Media tanamnya bukan tanah, melainkan air yang harus rutin diganti agar tidak berlumut.
Di rak, buku-buku masih tersusun rapi, beberapa mulai menguning di tepiannya. Di dinding, piagam-piagam berbaris kaku, mengingatkan pada masa-masa penuh kebanggaan yang kini hanya menjadi saksi bisu.Â
Saya menghela napas, meraih gawai, membuka laptop, dan iseng, jari jemari ini membuka akun Kompasiana.
Biasanya, kalau pikiran terasa berat, menulis jadi satu-satunya cara untuk meredakan sesak. Ndilalah, konten pertama yang muncul di beranda adalah tulisan Kompasianer Fifin Nurdiyana tentang mudik virtual. Saya mengernyit, lalu tersenyum pahit.
Mudik virtual. Â
Konsep yang dulu terdengar aneh, kini terasa begitu dekat.Â
Di lini masa media sosial, foto perjalanan mudik bertebaran. Jalan bebas hambatan berubah jadi lautan kendaraan. Wajah-wajah sumringah, sekaligus lelah, terlihat di stasiun dan terminal.Â
Anak-anak tertidur di bahu orang tua dalam bus malam, terayun pelan seirama dengan roda yang terus berputar.Â
Di bandara, orang-orang menggerek koper, matanya sesekali melirik jadwal penerbangan. Saya menutup aplikasi sejenak, menatap layar kosong, lalu mengetik pelan:
"Tahun ini saya masih tidak termasuk dalam kisah perjalanan itu. Lagi. Sudah tujuh tahun tidak bisa mudik."
Tujuh tahun.