Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Memaafkan Orang Lain Itu Mudah, Tapi Bagaimana dengan Diri Sendiri?

30 Maret 2025   21:35 Diperbarui: 31 Maret 2025   07:55 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi saling memaafkan di momen lebaran (Odua Images via Kompas.com)

Setiap Lebaran, ponsel saya tak pernah sepi. Grup komunitas, teman lama, bahkan kadang, nomor yang tak lagi saya simpan—semua ramai mengirim pesan seragam: Mohon maaf lahir dan batin.

Ada kalanya, saya juga ikut serta. Mengetik pesan panjang, memilih kata-kata yang paling sopan, paling tulus. Takut ada yang tersinggung jika saya lupa mengucapkan.

Tapi jujur saja, saya ragu. Apakah kata-kata itu benar-benar menyentuh mereka? Terlebih, banyak ucapan Lebaran hanya copy-paste dengan nama pengirim yang diganti. Ada juga kiriman poster keluarga lengkap—termasuk anggota yang bahkan belum bisa bicara.

Atau mungkin, semua itu hanya formalitas? Seperti emoticon tersenyum yang tak selalu berarti bahagia, atau emoticon tertawa yang justru saya kirim saat sedang merana.

Saya sibuk meminta maaf pada orang lain, takut ada yang pernah tersakiti oleh ucapan atau tindakan saya. Tapi dari sekian banyak permintaan maaf yang saya kirimkan, tak satu pun pernah saya tujukan pada diri saya sendiri.

Tahun ini, saya memutuskan untuk berhenti sejenak.

Bukan untuk mengabaikan orang lain, tapi untuk mengakui bahwa saya juga berhak dimaafkan. Berhak melepaskan rasa bersalah yang selama ini saya pikul sendiri—atas semua rencana yang berantakan, atas ekspektasi yang gagal saya penuhi, atas kesalahan yang saya hukum terlalu keras.

Tahun ini, saya memilih untuk berdiri di depan cermin, menarik napas panjang, dan berkata dengan pelan, "Maaf ya Mahéng, aku sudah terlalu keras padamu."

Beban yang Tak Pernah Saya Lepaskan 

Saya lahir dari keluarga yang tak bisa dibilang miskin, tapi juga jauh dari berkecukupan. Rumah kami berdinding kayu. Kami makan seadanya, tapi tidak sampai kelaparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun