Kereta terus melaju, dan saya memilih memandangi hamparan sawah hijau yang menenangkan, sesekali terlelap dalam jeda kebisingan yang singkat. Marah itu manusiawi, tapi mengendalikan diri adalah ikhtiar. Mungkin, pelajaran sederhana ini hadir di tengah hiruk pikuk keseharian, untuk dibawa pulang dan diamalkan, bukan hanya hari ini, tapi juga di hari-hari mendatang.
Mungkin inilah saatnya memenangkan 'pergulatan' batin. Melawan ego yang ingin selalu didengar, menahan amarah yang ingin menyembur keluar, meredam keinginan untuk merasa paling benar.
Saya diam, bukan karena menyerah. Tapi karena sedang menempa diri menjadi lebih kuat.
Anak-anak itu tetap berlarian. Kereta tetap setia pada relnya. Dan saya, masih terduduk di kursi yang sama. Namun, ada sedikit ruang lapang di hati yang tadinya sesak.
Barangkali, inilah yang disebut sabar. Bukan sekadar membisu, tapi memilih untuk tidak melukai, baik diri sendiri maupun orang lain.
Karena dakwah pertama yang harus saya sampaikan, bukan melalui kata-kata yang lantang. Melainkan melalui cara saya tidak ikut membenci dunia, ketika dunia sedang terasa kurang ramah pada saya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI