"Iya, iya. Besok-besok saya bawa pakaian ganti," jawab Tole sedikit tersinggung.
Temannya satu lagi tersenyum. Senyumnya seperti ada maksud. Ia penasaran, siapa saja yang dilihat Tole di sana.
"Kamu berarti tontonannya begituan ya? Segar-segar dong? Ada yang cantik gak? Semok-semok pasti?" tanya teman itu sedikit nakal. Tole tersenyum. Ia tahu, teman itu pikirannya jorok sekali. Suka nonton film porno tengah malam.
"Ya, begitulah, Jo. Namanya juga kerja di rumah bordil. Tontonannya ya seksi-seksi, celananya kurang bahan, pahanya mulus dan bening, mukanya cantik dan menor, dadanya dibusung-busungkan. Sebagian besar sekali dan menggairahkan. Semua ada, dari yang muda sampai tua."
Teman itu meneteskan air liur. Pikirannya sudah ke mana-mana. Secara alamiah, ia berfantasi tidak karuan. Tole memukul pundaknya.
"Kamu mikir apa, ha?"
Teman itu hanya tertawa. "Sekali-kali kenalkan dong sama kita-kita," katanya. "Kami temanmu, bukan?" lanjutnya dengan penuh harap.
Tole ikut tertawa. "Saya ini cuma tukang sapu. Meskipun kerja di sana, saya tidak boleh masuk ke dalam rumah. Saya hanya di luar bersama petugas keamanan."
Suatu kali, ketika Tole sedang bekerja, ia mendapati seorang pemuda masuk dengan langkah gagah. Ia seperti kenal perawakan pemuda itu. Sekilas ia teringat kembali kenangan di kampung.
Seusai meletakkan pengki pada tempatnya, ia memandang pemuda itu benar-benar dari jauh. Pemuda itu turun dari mobil mewah. Pemuda itu mengenakan jas hitam dan celana hitam pula. Perlente, seperti bos-bos besar.
Tole perlahan mendekat. Ia bersembunyi di balik pohon Mangga. Ketika pemuda itu hendak membuka pintu, perangai Tole berubah. Sekilas ia melihat benar, ada beberapa tahi lalat di bawah bibir pemuda itu. Wajahnya pun tidak asing dengan sebuah tompel besar di pipi kiri. Tanda-tanda fisik yang mengingatkan kesakitan hati Tole.Â