Tradisi seharusnya membawa kebahagiaan, bukan utang. Bila adat membuat pasangan tercekik, bukankah sebaiknya adat itu ditinjau ulang? Gen Z berusaha menegaskan bahwa tradisi harus fleksibel mengikuti zaman, bukan sebaliknya.
Gen Z memilih menikah sederhana bukan karena pelit, bukan karena anti tradisi, melainkan karena mereka lebih realistis. Mereka tahu bahwa pesta hanya sehari, tapi rumah tangga adalah seumur hidup.
Mereka ingin menyimpan uang untuk rumah, kebutuhan pokok, hingga dana darurat, bukan untuk memuaskan gengsi tetangga. Mereka ingin menghargai tradisi, tapi tidak ingin jadi korban tradisi.
Kini saatnya orang tua dan masyarakat membuka mata bahwa pernikahan bukan tentang memamerkan kemewahan, melainkan tentang kesiapan membangun masa depan.
Karena sesungguhnya, menikah sederhana bukan tanda kekurangan, ia adalah tanda keberanian. Keberanian untuk berkata,
"Kebahagiaan kami tidak ditentukan oleh sorak sorai pesta, tapi oleh langkah kami menata hidup setelahnya."
Juga tentu saja, bukan berarti pesta pernikahan salah. Merayakan dengan meriah sah-sah saja, asalkan benar-benar mampu dan tetap mengutamakan persiapan setelahnya. Karena pesta hanyalah awal, sementara rumah tangga adalah perjalanan panjang yang butuh kesiapan lebih dari sekadar dekorasi dan undangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI