Sering kali, masalah bukan berasal dari pasangan itu sendiri, melainkan dari orang tua dan lingkungan.
Kalimat yang sering terdengar:
"Kalau cuma nikah di KUA, nanti dikira gak mampu."
"Apa kata tetangga kalau kita gak bikin resepsi?"
"Adat harus dijalankan, jangan sampai keluarga malu."
"Kamu itu anak pertama, perempuan lagi!."
Tekanan semacam ini membuat banyak Gen Z terpaksa mengikuti arus, meski hati kecil mereka lebih memilih sederhana. Ironisnya, yang menikah adalah pasangan muda itu sendiri, tapi yang lebih sibuk mempertahankan gengsi adalah orang-orang di sekitarnya.
After Wedding Lebih Menentukan daripada Before Wedding
Banyak keluarga masih menitikberatkan persiapan pada before wedding, gaun pengantin, dekorasi, foto prewedding, catering, hingga souvenir. Semua hal itu penting, tapi tidak ada yang menjamin keberlangsungan rumah tangga.
Kehidupan nyata justru dimulai setelah pesta selesai. Saat tamu sudah pulang dan lampu gedung dimatikan, pasangan baru itu akan berhadapan dengan hal-hal berikut:
- Tagihan listrik, air, dan kebutuhan harian.
- Biaya kontrakan atau cicilan rumah.
- Perabotan rumah tangga yang ternyata masih banyak kurang. Dana darurat untuk kesehatan atau kejadian tak terduga.
Gen Z cenderung lebih realistis, mereka memandang after wedding jauh lebih menentukan daripada before wedding. Karena itu, mereka lebih memilih menyimpan uang untuk kebutuhan nyata ketimbang habis di pesta.