Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Falsafah Jawa: Menyulam Laku Hidup dari Empan Papan sampai Andhap Asor

14 September 2025   10:21 Diperbarui: 14 September 2025   10:21 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sing eling lan waspada/Foto: Hermard

Jumat malam (29/8/2025), tiba-tiba saya terjaga dari tidur. Suara ledakan yang semula samar, lama-lama kian jelas terdengar dan mampu membangkitkan dunia kesadaran. Ini tidak seperti malam-malam biasanya yang selalu terasa tenang dan sunyi di Omah Ampiran, Randugowang, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.
Begitu membuka mata, melihat layar gawai,  waktu menunjukkan pukul 11.35 malam. Suara ledakan terus terdengar. Entah itu suara petasan, kembang api, atau senjata aparat, tak tahulah. Satu hal yang pasti, ini  suara dari demo aliansi Massa Jogja Memanggil di Mapolda DIY. 

Tapi mengapa sampai selarut ini aksi masih berlangsung? Biasanya selepas magrib, demo di Yogya berakhir. Begitu runyamkah demo kali ini hingga suara letusan sampai terdengar dari jarak lima belas kilometer lebih dan tak kenal waktu?

Keesokan harinya, lewat media sosial,  baru saya mengetahui jika demo di Mapolda berlangsung tidak baik-baik saja. Baru usai sekitar pukul 05.30 pagi. Ada tindakan anarkisme dengan membakar gedung pelayanan,  dua  mobil luluh lantak terpanggang, videotron, pagar besi,  mesin ATM ikut dirusak. 

Massa demo baru bisa ditenangkan setelah orang nomor satu di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, didampingi  dua Putri Dalem Keraton Yogyakarta, yakni GKR Condrokirono dan GKR Hayu, serta suami GKR Bendara yakni KPH Yudanegara, menyambangi Mapolda.

Sri Sultan Hamengku Buwono X, tiba di Mapolda DIY sekitar pukul 22.30 WIB.  Hampir dua jam berdialog dengan pihak kepolisian dan perwakilan massa aksi di sebuah ruangan. Selanjutnya pada Sabtu (30/8) dini hari, sekitar pukul 01.00 WIB, Sri Sultan keluar dari gedung menemui massa aksi. 

Ajakan damai/Foto: dokpri Hermard
Ajakan damai/Foto: dokpri Hermard
Sultan HB X menyampaikan bahwa dirinya mendukung proses demokratisasi yang terjadi. Ia meminta agar proses demokrasi dilakukan tanpa menggunakan cara-cara kekerasan.

"Saya berharap demokratisasi itu dilakukan dengan baik untuk mendidik kita semua, termasuk diri saya  juga. Karena di Jogja ini tidak ada kebiasaan terjadi kekerasan-kekerasan di dalam membangun demokratisasi," ujar Sri Sultan Hamengku Buwono X di depan massa aksi (dikutip dari @pandanganjogja).

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X usai mendengarkan arahan Menteri Dalam Negeri RI melalui zoom meeting kepada seluruh kepala daerah setingkat provinsi, kabupaten/kota (30/8/2025) dari Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan Yogyakarta, mengimbau agar semua elemen pemerintah daerah mampu memprioritaskan kemampuan empan papan, dalam bertindak maupun menyikapi kondisi saat ini. Sri Sultan pun ngugemi budaya di DIY masih mengutamakan apa yang dirasakan, bukan apa yang dipikirkan.

Gubernur DIY menginginkan para pimpinan daerah  bisa menyosialisasikan perilaku tidak berlebihan, memiliki adu rasa atau kepekaan merasakan. 

Dengan begitu, setiap langkah, tindakan atau keputusan yang diambil tidak hanya berdasarkan pada apa yang dipikirkan, tetapi lebih ke apa yang dirasakan. Empan papan itu yang bicara rasa, bukan yang dipikirkan. Lebih berkaitan dengan hati, pengendalian diri.

Ucapan, Perbuatan, dan Kerendahan Hati
Di tengah gejolak politik Indonesia,  Sri Sultan Hamengku Buwono X mengingatkan kembali akan pentingnya nilai-nilai falsafah Jawa agar menjadi cerminan moral. 

Empan papan, merupakan upaya menempatkan diri sesuai tempat, waktu, dan situasi. Seseorang (terlebih pejabat) sebaiknya peka, tahu diri,  tidak berlebihan, dan bisa merasakan realita.

Dalam kehidupan masyarakat Jawa, falsafah dan pitutur leluhur bukan sekadar kata-kata kosong. la tumbuh dari pengalaman panjang proses njajah desa milangkori, mengendap dalam keseharian, dan diwariskan turun-temurun sebagai pedoman agar manusia mampu menata diri, baik dengan sesama, maupun alam semesta.

Bagi saya pribadi, filosofi empan papan bertalian erat  dengan filosofi ajining diri saka lathi lan budi (martabat lahir dari ucapan dan budi), ngundhuh wohing pakarti (menuai apa yang ditanam), dan andhap asor (rendah hati).

Masing-masing ungkapan tersebut mempunyai kekuatan nilai, namun bila dipahami bersama, ungkapan tersebut merupakan tiga kesatuan, tri tunggal,  merangkai laku hidup orang Jawa dalam menghadapi tantangan kehidupan yang berputar kian ligat seperti gasing.

Ajining diri saka lathi lan budi menekankan bahwa martabat manusia sangat ditentukan oleh ucapan dan perilakunya. Kata-kata dalam pandangan masyarakat Jawa, bukan sekadar bunyi, melainkan cerminan batin. Seseorang yang berkata kasar,  menyebarkan kabar tanpa fakta, pada galibnya tengah merendahkan dirinya sendiri.

Begitu pula sebaliknya, tutur kata  lembut, disertai budi pekerti, akan menjadikan seseorang dihormati. Dalam masyarakat Jawa, lathi (ucapan) tidak mungkin dipisahkan dari budi (akhlak). Keduanya merupakan pasangan tunggal- semacam dwi naga rasa tunggal. 

Bila kata-kata lahir tanpa dituntun budi, ia dapat melukai. Sebaliknya, bila budi berjalan tanpa disampaikan lewat kata, maka kebaikan bisa hilang dalam kebisuan.

Dari sinilah lahir keyakinan bahwa kehormatan diri seseorang, utamanya bukan ditentukan dari pakaian (sandang) dan tumpukan harta (bandha brana), melainkan dari bagaimana ia bertutur dan bersikap.

Tidak mengherankan jika beberapa tahun lalu salah satu provider layanan komunikasi dalam iklannya menuliskan: mulutmu harimaumu...

Dalam kearifan budaya Jawa, sekali lidah salah ucap, nama baik menjadi taruhan. Maka, sebelum mengucapkan sesuatu, perlu dipikirkan secara bijak, penuh kehati-hatian,  apakah kata-kata yang diucapkan mengandung manfaat, mencerminkan budi, atau justru menyakiti orang lain sekaligus mempermalukan diri sendiri.

Di tengah keriuhan situasi politik Indonesia, Ahmad Sahroni, politisi Nasdem, misalnya, tiba-tiba menjadi sorotan publik karena dalam kunjungan kerja di Sumatera Utara, ia menyebut orang-orang yang mengatakan "Bubarkan DPR" sebagai "orang tolol sedunia". 

Ditambah lagi publik digegerkan dengan video anggota DPR yang asyik berjoget  sesudah Sidang Tahunan MPR. Video tersebut menuai kritik pedas karena dianggap tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi rakyat. Banyak masyarakat  kesulitan hidup  karena dilanda PHK, berhadapan dengan berbagai pajak, ketidak-adilan, tetapi wakil rakyat justru  bergembira ria di ruang parlemen dengan jogetan.

Hal ini   memicu kemarahan masyarakat luas dan berujung terjadinya demo dimana-mana sepanjang tanggal 25 sampai akhir Agustus 2025. Masyarakat yang tengah megap-megap dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa tunjangan anggota DPR begitu "melimpah ruah" dan mereka kurang empati terhadap rakyat. 

Bukanlah tanpa alasan jika situasi ini memunculkan bibit-bibit "kegerahan" dan kejengkelan di tengah masyarakat. Ucapan Sahroni dianggap merendahkan atau meremehkan rakyat,  menjadikan ketegangan rakyat  memuncak. Fenomena itu merupakan contoh nyata mengenai ajining diri saka lathi lan budi.

Pencopotan Sahroni dari jabatan Wakil Ketua Komisi III DPR,  peninjauan kembali tunjangan anggota DPR, aksi unjuk rasa  menuntut pembubaran DPR, bahkan penjarahan  rumah Sahroni di Tanjung Priok  dan beberapa politisi lainnya, mencerminkan berlakunya falsafah ngundhuh wohing pakarti- menuai apa yang ditanam.

Berbagai kejadian tersebut merupakan contoh pahit bahwa ketika lathi kehilangan budi, disampaikan secara serampangan, menciptakan reaksi destruktif yang merugikan semua pihak.
Seandainya para politisi  menyampaikan kritik ke publik dengan nada adem ayem, rendah hati- misalnya mengajak dialog, menunjukkan rasa empati (kemanusiaan), situasi dapat jauh lebih kondusif.

Dalam demonstrasi, tuntutan publik tidak semata soal pembubaran DPR, melainkan rasa tidak didengar dan dipahami, termasuk soal tunjangan dan kurangnya keterbukaan, sehingga DPR dirasa tidak punya empati. 

Andai DPR menyikapi kritik dengan andhap asor- misalnya membuka ruang dialog secara langsung, merespon aspirasi rakyat tanpa defensif- niscaya dialog antara lembaga pemerintah dengan rakyat bisa dibangun  lebih baik lagi.

Namun sayangnya, momentum tersebut tidak menemukan jalan karena pernyataan arogan yang justru memperlebar kesenjangan.  Wajar saja jika kemudian masyarakat meradang dan melampiaskan kemarahan  melalui aksi turun ke jalan.

Adem ayem, tugu Pal Putih (2014)/Foto: Hermard
Adem ayem, tugu Pal Putih (2014)/Foto: Hermard
Pada akhirnya, pitutur Jawa seperti ajining diri saka lathi lan budi, ngundhuh wohing pakarti, dan andhap asor menjadi semacam kompas moral. Ia tidak hanya membimbing individu dalam menata diri sendiri, tetapi juga menjaga harmoni dalam masyarakat.

Dalam pandangan Jawa (seperti juga dikatakan orang bijak), harmoni merupakan puncak kebijaksanaan: urip iku mung mampir ngombe- hidup hanya singgah sebentar. Maka, selama persinggahan, mengapa tidak kita isi dengan ucapan  baik-baik, perbuatan yang benar, dan sikap  rendah hati? (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun