Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Falsafah Jawa: Menyulam Laku Hidup dari Empan Papan sampai Andhap Asor

14 September 2025   10:21 Diperbarui: 14 September 2025   10:21 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sing eling lan waspada/Foto: Hermard

Bukanlah tanpa alasan jika situasi ini memunculkan bibit-bibit "kegerahan" dan kejengkelan di tengah masyarakat. Ucapan Sahroni dianggap merendahkan atau meremehkan rakyat,  menjadikan ketegangan rakyat  memuncak. Fenomena itu merupakan contoh nyata mengenai ajining diri saka lathi lan budi.

Pencopotan Sahroni dari jabatan Wakil Ketua Komisi III DPR,  peninjauan kembali tunjangan anggota DPR, aksi unjuk rasa  menuntut pembubaran DPR, bahkan penjarahan  rumah Sahroni di Tanjung Priok  dan beberapa politisi lainnya, mencerminkan berlakunya falsafah ngundhuh wohing pakarti- menuai apa yang ditanam.

Berbagai kejadian tersebut merupakan contoh pahit bahwa ketika lathi kehilangan budi, disampaikan secara serampangan, menciptakan reaksi destruktif yang merugikan semua pihak.
Seandainya para politisi  menyampaikan kritik ke publik dengan nada adem ayem, rendah hati- misalnya mengajak dialog, menunjukkan rasa empati (kemanusiaan), situasi dapat jauh lebih kondusif.

Dalam demonstrasi, tuntutan publik tidak semata soal pembubaran DPR, melainkan rasa tidak didengar dan dipahami, termasuk soal tunjangan dan kurangnya keterbukaan, sehingga DPR dirasa tidak punya empati. 

Andai DPR menyikapi kritik dengan andhap asor- misalnya membuka ruang dialog secara langsung, merespon aspirasi rakyat tanpa defensif- niscaya dialog antara lembaga pemerintah dengan rakyat bisa dibangun  lebih baik lagi.

Namun sayangnya, momentum tersebut tidak menemukan jalan karena pernyataan arogan yang justru memperlebar kesenjangan.  Wajar saja jika kemudian masyarakat meradang dan melampiaskan kemarahan  melalui aksi turun ke jalan.

Adem ayem, tugu Pal Putih (2014)/Foto: Hermard
Adem ayem, tugu Pal Putih (2014)/Foto: Hermard
Pada akhirnya, pitutur Jawa seperti ajining diri saka lathi lan budi, ngundhuh wohing pakarti, dan andhap asor menjadi semacam kompas moral. Ia tidak hanya membimbing individu dalam menata diri sendiri, tetapi juga menjaga harmoni dalam masyarakat.

Dalam pandangan Jawa (seperti juga dikatakan orang bijak), harmoni merupakan puncak kebijaksanaan: urip iku mung mampir ngombe- hidup hanya singgah sebentar. Maka, selama persinggahan, mengapa tidak kita isi dengan ucapan  baik-baik, perbuatan yang benar, dan sikap  rendah hati? (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun