Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Roman

(Masih dalam) Cerita Gemintang Suram

27 Juli 2023   08:33 Diperbarui: 27 Juli 2023   08:36 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com

"Halo... halooo....!" demikian sapa Rembulan pada Gemintang Suram. 

Malam itu, Gemintang Suram masih suram wajahnya. Entahlah ada sesuatu yang mengganjal hingga tak rela sekadar menyungging senyum. 

"Aku masih gundah di hati menyaksikan dan mendengarkan segala peristiwa di mayapada. Kaum saling puji dengan ejekan, saling sindir dengan pujian. Kata dan frasa ditubrukkan, kalimat dalam paragraf disalingsilangkan. Menariknya, ketika bersua, para tokohnya berujar, 'akh.... itu pertemuan biasa!' Padahal, pengikutnya saling sikut, lalu yang lain berlari-lari melalui celah kecil mencari keberuntungan di seberang yang berseberangan ide."

Gemintang Suram bersembunyi pada hari siang. Ia tidak menampakkan dirinya, hingga tak terlihat kasat mata pada kaum di mayapada. Ia menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa duniawi yang dilakoni para tokoh yang kokoh memangku dan memanggul kepentingan mereka. Ketika satu tokoh berdiri di pojok ekosistemnya, ia akan berteriak lantang, 'ini demi bangsa dan negara, pengubahan atau pelanjutan sebagai keniscayaan'."

Gemintang Suram mengarahkan indra pendengaran dan penglihatan dengan tensi yang lebih tajam. Ia terus mendengarkan ratapan anak-anak bangsa di pulau dan nusa, sungai dan danau, bibir pantai, tanjung dan selat. Anak-anak bangsa yang berada di area rentan masalah dengan alam sekalipun mereka telah berada di sana secara turun-temurun hingga dapat beradaptasi segera sesudah sesuatu terjadi. Mereka rindu negara hadir ketika teriak minta tolong dipekikkan, dan tangan bertadahan dijulurkan.

Kaum urban makin terjepit di perkotaan, penyakit sosial merajalela bagai suatu keadaan luar biasa. Pencurian dengan nama dan alasan apa pun dilakoni demi mempertahankan hidup. Pencurian tidak berhenti pada barang esek-esek hingga mewah, tetapi telah tiba pada organ tubuh manusia. Semua kebobrokan itu dilakukan agar kaum urban terlepas dari belenggu kemiskinan sekaligus penyakit sosial yang mereka ciptakan atau secara senyap tercipta sebagai dampak pembangunan berkelanjutan.

Kaum borjuis di perkotaan menjadi eksklusif. Tampilan mereka necis, lurus dan mulus. Lalat yang merindukan setetes embun basah pada timbunan sampah di tubuh tak dapat menghisapnya. Kumbang yang hendak memanjakan lidah penghisap madu tak mampu mendekat ketika membau ternyata racun yang dilulurkan pada tampilan necis bermartabat. Luluran kemunafikan tampak begitu indah memesona.

Anak-anak kaum borjuis tampil dengan multi karakter. Keramahan dibarengi kemarahan, sesudah menyokong dengan santunan yang diterimakan dengan santun. Ketika akan pergi ia akan menepuk secara tak santun bokong sahabatnya lalu berjalan santai tanpa dosa. Pada kesempatan lain, ia memasang aplikasi tembus raga, menyalurkan pada sesama mereka untuk dijadikan bahan buli dan perkusi. Ketika hendak disanksi oleh aturan, mereka membelokkan aturan dengan menggunakan tangan orang dewasa yang mudah terjangkau.

Kaum olirgarki menancapkan daya cakar-carak makin kuat. Mereka mecengkeram makin erat dunia karsa dan karya. Penciptaan mormon dilakoni hingga mereka sendiri telah menjadi mormon yang ditakuti, disegani hingga disembah. Jaringan oligar yang dibangun bermuatan sosial bagai selebriti sosialita. Minyak dari serutan kelapa diambil sebahagian, lalu ampas dengan sedikit basahan ditebar agar pengikut menyemut. Ketika pengikut menyemut, sabda tak dapat ditolak karena mereka telah memamah basahan serutan kelapa yang ditebar kaum olirgarki.

"Ha ha ha... ha ha ha ... ... ... ."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun