Mohon tunggu...
Heronimus Bani
Heronimus Bani Mohon Tunggu... Guru

Menulis seturut kenikmatan rasa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kau Mengalunkan Nada Indah, Aku di sini Mengais Bumi

10 Juni 2025   11:11 Diperbarui: 10 Juni 2025   11:11 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan Awal:

Puisi ini ditulis atas permintaan Pengurus Pospera Kabupaten Kupang; Saya membacakannya pada 11 September 2023;

Wahai Bumi Pertiwi! Aku duduk di sini menerawang cakrawala. Aku terpekur di sini menyedengkan pendengaran dan memasang mata awas berjaga-jaga. Aku tak sedang lelap di pembaringan mengangkasakan mimpi meraih bintang dan menyapa rembulan. Mengarakkan ijaminasi pada jejeran gemawan. Aku memanggul pacul, menyandang parang mengukir emosi pada tanah pijakan. Tanah pijakan tak berteriak. Ia kuelus dan kubelai dirinya hingga memberi susu dan madu pada waktunya. Waktu bercerita, susunya belum seberapa mencukupi, ada pula kisah madunya tak jua meneteskan jernih dan manisnya. Saat itu aku meradang. Waktu memberi kabar madu dan susu bertimbun membukit sebentar, aku gembira dan riang. Keriangan tak berlangsung lama. Alam mengguruiku dengan terpaan badai, longsor dan banjir. Semesta mengajariku dengan kekeringan dan paceklik. Penguasa mendidik dan mengingatkan dengan sentuhan bergincu bibir.

 

Wahai Bumi Pertiwi! Aku merindukan untuk berdiri dan melangkah. Dapatkah kau memberi tangan agar kujadikan pegangan saat aku berdiri? Mungkinkah ada kesukarelaan memberi tongkat penyangga ragaku ini sambal mengeliminir item pelapis isi? Tambahkanlah nutrisi pada ragaku agar semangatku tak pudar dan pupus. Ada kesadaran padaku, aku tak harus memelas, karena aku pekerja keras. Dirimu senantiasa memberi tunas-tunas harapan. Sang tunas-tunas harapan memijak ragamu. Kau merasakan, menikmati, dan menghidupkan mereka. Mereka hendak menjadi payung peneduh dan pohon sandaran. Aku tetap akan menyusuri lorong tantangan dengan memandang cahaya keagungan dan kemakmuran semu di ujungnya.

 

Wahai Bumi Pertiwi! Aku memandang di kejauhan ada bintang-bintang sedang berkejaran. Para bintang hendak menduduki singgasana kemuliaan berpijar. Salam jabat, senyum sumringah, kata diujarkan meremukkan tulang hingga membelokkan arah komitmen. Pelukan indah sesaat di sini, bergeser arah ke gendongan mesra di sana. Kiriman pesan ritme kepekaan ditempatkan pada kantong-kantong kecil, sementara kotak pandora mulai terbuka tanpa kepastian penentuan bintang kembar. Adakah kau, wahai pertiwi sudi menyajikan sang kembar di tataran emosi jiwa bergejolak agar gairah menaiki tangga singgasana ditopang tangan-tangan pemegang pacul, parang dan kayuh?

 

Di sini, di tempat ini, kaum pengelus debu dan lumpur menyapa. Kaum pendayung dan pengais di pesisir dan laut dangkal memberi salam. Mereka memanfaatkan energy dan daya berkobar, ketika kau mengalunkan nada indah berkumandang, aku dan kami di sini mengais bumi.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun