Mohon tunggu...
Heronimus Bani
Heronimus Bani Mohon Tunggu... Guru

Menulis seturut kenikmatan rasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Resume singkat Hasil Diskusi dengan dua Mahasiswa KKN

31 Mei 2025   17:03 Diperbarui: 31 Mei 2025   17:03 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Sabtu (31/5) dua mahasiswa yang sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Nekmese berkunjung ke Umi Nii Baki-Koro'oto. Keduanya bermaksud untuk berdiskusi. Materi diskusi telah dikirimkan sehari sebelumnya melalui WhatsApp. Materi diskusi berhubungan dengan Hak Azasi Manusia (HAM ~ human rights). Satu materi diskusi yang amat luas cakupannya.Materi diskusi disodorkan dalam bentuk sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu bila dirangkum kiranya akan seperti ini:

  • Hak Kemerdekaan, kebebasan secara universal
  • Hak hidup baik individu maupun komunitas, diskriminasi, kesejahteraan dan perlindungan/keamanan dari ancaman bahaya
  • Hak kewarganegaraan baik individu maupun komunitas, pekerjaan dan jaminan sosial, kebebasan beragama dan beribadah
  • Hak anak: perlindungan anak, kesehatan anak, kewarganegaraan anak 
  • Identitas budaya, akses informasi dan komunikasi

Sekitar pukul 08.30 WITa kami mulai berdiskusi. Tiap pertanyaan saya jawab dengan memberi perspektif kebudayaan dan sejarah masyarakat desa, khususnya masyarakat desa Nekmese tempat di mana para mahasiswa sedang melaksanakan KKN.  Kedua mahasiswa menyiapkan catatan dan alat bantu rekaman, dan bersiap mendengarkan, merekam dan mencatat. Antusias mendengarkan.

Secara garis besar, hasil diskusi itu sebagai berikut:

Makhluk manusia sebagai individu dipastikan lahir dari rahim seorang perempuan dan keberadaannya di atas pangkuan orang tuanya tanpa permintaan dari dirinya sebagai insan. Ia lahir dan menempati ruang dan waktu yang terasa ada batasan-batasannya, namun ia merasa merdeka di dalamnya. Ia tidak merasa sedang dibatasi kemerdekaannya sebagai individu ketika masih bayi hingga kanak-kanak, namun seiring pertumbuhan dan perkembangan fisiknya, ia mulai merasa ada batasan-batasan. Batasan-batasan itulah yang memagari kemerdekaannya sebagai individu. 

Dalam kaitannya dengan kemerdekaan merupakan hak segala bangsa, maka hal itu dimulai dari insan sebagai individu dalam komunitas dan komunitas dalam hubungannya dengan komunitas lainnya. Itulah sebabnya ada upaya membangun peradaban antar komunitas yang membangun kampung-kampung dan kota-kota. Orang merasa bahwa membangun satu kampung itu bebas, merdeka adanya, ternyata tidaklah demikian. Faktanya, komunitas X mau menjadi superior atas komunitas Y, sehingga terjadi "tindih-menindih" yang memasung kebebasan/kemerdekaan. Dalam sejarah kebudayaan masyarakat pedesaan di manapun di dalam pulau Timor ini, pernah ada perang antar suku, perang antar kampung. Di sana ada upaya menghadang kebebasan/kemerdekaan baik individu maupun komunitas. 

Tentang diskriminasi. Orang merasa bahwa di daratan Timor ini atoin Meto' mendiskriminasi kaum perempuan. Perlu disadari bahwa dalam budaya patriakh, orang Timor (Atoin' Meto') mengenal apa yang disebut amaf (bapak) dan amnasit (yang dituakan/tetua/sesepuh). Ini tidak berarti bahwa segala sesuatu ada di tangan (dan mulut) amaf dan amnasit. Sesungguhnya para amaf memegang peranan pada proses tertentu, namun di belakang layar sana, kaum perempuan (bifee ~ bifeel) tidak terabaikan. Disadari bahwa ada semacam superioritas kaum laki-laki dan perempuan menjadi sub-ordinat, namun tidak selalu demikian. Contohnya pada tugas-tugas domestik. Khusus pada kedaulatan pangan, tidak diperkenankan seorang laki-laki masuk ke lumbung persediaan makanan. Hanya perempuan sajalah yang berhak menakar ketersediaan pangan untuk jangka waktu setahun. Bahkan untuk setiap kali menyajikan makanan, hanya boleh oleh perempuan; seorang laki-laki yang bekerja keras di ladang membawa hasil ladang tiba di bibir lumbungg. Ketika isinya dikeluarkan, hanya seorang perempuan yang berhak. Begitulah pula dengan area tugas antara laki-laki dan perempuan ada perbedaannya sehingga bila ada sebutan tentang diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, mungkin ada namun pada masa lampau ketika orang belum menyadari akan adanya kesederajatan.

Kesadaran tentang hak sebagai warga negara ada pada masyarakat bahkan pada masyarakat adat sebelum adanya negara berdaulat. Pada masyarakat adat orang memberi diri sebagai bagian dari satu komunitas kampung yang sebutannya kuan.  Kepala kuan dengan sebutan misalnya, 'nakaf dan berubah menjadi tamukung. Secara hierarkis berlanjut hingga usif. Ini hierarki pemerintahan di mana orang sadar akan pentingnya berkewarganegaraan. Zaman modern orang mendaftarkan diri untuk mendapatakan pengakuan sebagai warga negara, bukti paling dekat yakni dokumen kependudukan Kartu Tanda Penduduk. Bangsa ini tidak mengenal dwiwarga negara. 

Setiap anak yang lahir dalam satu keluarga berhak untuk hidup, mendapatkan perlindungan dari orang tuanya dan komunitas lingkungannya. Hak hidup itu ditandai secara sederhana seperti mendapatkan asupan makanan yang bergizi hingga pertumbuhannya berlanjut menjadi kanak-kanak, remaja, hingga dewasa sebagai satu individu yang merdeka. Hak hidup sebagai anak pada anak perlu mendapatkan perhatian dari orang tua. Kita perlu jujur tentang kekerasan verbal dan fisik pada anak, bahwa pada masa lampau kekerasan verbal mendahului kekerasan fisik.  Bayi menjadi kanak-kanak belum mendapatkan kekerasan verbal apalagi fisik, namun beranjak remaja hingga orang muda dan dewasa kekerasan verbal dan fisik dapat saja terjadi oleh karena berbagai faktor, misalnya nakal yang tak dapat diatasi oleh orang tua. Dewasa ini, hal itu mulai dikurangi tensinya ketika negara memberlakukan undang-undang yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan pada ibu dan anak. Kekerasan fisik pada masa lampau terlihat pada denda adat. Bila seseorang yang berperkara lantas mendapatkan hukuman denda sejumlah uang, bila ia tidak mampu membayar, maka denda diganti dengan pukulan dalam hitungan tertentu agar ia dapat melunasi denda adat. Hal itu tidak berlaku lagi ketika undang-undang hukum pidana berlaku.

Tentang kebebasan beragama, sejujurnya pada masa lampau para penganut agama suku atau aliran kepercayaan tidak memberi ruang pada agama modern. Bahkan ketika agama suku/aliran kepercayaan hilang, agama modern tumbuh antar penganut agama sering terjadi disharmoni sebagai penganut agama atau denominasi gereja. Dalam masa-masa awal keberadaan agama modern termasuk gereja, orang seperti saling mencurigai, tetapi saat ini orang menyadari akan hak memeluk agama, hak beribadah secara bebas sehingga hal yang disebut sebagai disharmoni telah terkikis.

Mengenai identitas kebudayaan, rasanya orang/masyarakat Amarasi merupakan satu sub suku Atoin' Meto' yang permisif. Mudah menerima perubahan dan penyesuaian. Lihatlah desa Nekmese. Perkembangannya saat ini jauh berbeda dalam masa 50-an tahun ini. Pengembangan ide untuk berkembang berangkat dari kemauan orang sebagai individu untuk memasuki dunia sekolah, secara berjenjang dengan pilihan program studi yang beragam untuk mengembangkan potensi diri. Maka, kebudayaan pun berkembang seiring perkembangan zaman. Masyarakat Amarasi zaman ini rasanya telah menggerus sendiri kebudayaannya sendiri, tersisa pada motif tenun ikat yang menonjol. Bahasa daerah pun mulai digerus perlahan, sehingga diperlukan kerja keras untuk menulis yang oral menjadi bahasa tulisan.

kenangan sesudah diskusi; foto: Ansel Bani
kenangan sesudah diskusi; foto: Ansel Bani

Begitulah garis besar diskusi dengan dua mahasiswa mewakili rekan-rekan mereka yang sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di desa Nekmese. Kami akhiri diskusi ini beberapa pertanyaan ringan untuk memperjelas yang dirasakan masih kabur dalam persepsi. Selanjutnya sebagaimana lazimnya kaum modern yang milenial, pastilah foto bersama.

 Terima kasih.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 31 Mei 2025

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun