Pengantar
Mungkinkah judul ini menarik? Hanya para pembaca yang dapat menjawab. Satu hal saya dapatkan ketika menghadiri acara penutupan Festival Lasiana. Pada acara penutupan ini, Ketua Majelis Sinode GMIT menyampaikan kritik menarik dan menggelitik tentang kebudayaan masyarakat adat. Bahwasanya pada masa lalu ketika agama baru diterima, hal-hal yang didapati di tiap komunitas dalam lokus-lokus oleh agama baru dianggap kafir, sehingga haruslah dibuang/dihempaskan.Â
Menghempaskan hal-hal yang sudah identik dengan diri tiap komunitas hingga satu sub suku dan suku bangsa. Proses itu selanjutnya bagai sedang menghilangkan jati diri. Maka, ketika jati diri sirna/hilang, komunitas itu sendiri bagai sedang berada di luar dirinya, di luar konteks kehidupan bersama. Mereka telah menjadi berbeda. Maka, tidak mengherankan bila orang mulai bingung untuk menemukan kembali jalan menuju jati diri, identitas.
Tulisan ini mencoba merangkai dari berbagai sumber tentang unsur-unsur kebudayaan yang membedakan antar komunitas, sub etnis/suku dan etnis. Semua yang perlahan dihempaskan sehingga menghilangkan jati diri, dalam satu atau dua dekade terakhir sedang dicari untuk dikembalikan. Pencarian hingga menemukan dengan satu pendekatan moderna yakni, membeli.
Unsur-Unsur Kebudayaan
Pertama, Bahasa.
Manusia hidup mengelompok pada satu lokus, baik itu sebagai satu kawasan/wilayah dengan penentuan batas tertentu. Pada batas-batas tertentu itu ada kelompok lain yang mungkin sama atau mirip. Mereka yang hidup dalam satu kelompok berkomunikasi dengan bahasa, dan berlanjut dengan kelompok lain di perbatasan wilayah. Dapat saja kelompok/komunitas yang berbatatasan kawasan itu mempunyai satu model bahasa namun berbeda dalam dialek, intonasi/aksen, kosa kata dan lain-lain unsur bahasa. Semua itu menjadi marka yang membedakan komunitas, sub etnis dan etnis dalam berbahasa. Dapat saja mereka punya induk bahasa yang sama, namun berbeda dalam hal-hal tertentu.Â
Kini, bahasa daerah perlahan-lahan telah mengalami penggeseran menuju penggusuran. Bahasa daerah menjadi ketinggalan zaman. Lalu, para ahli bahasa dan mahasiswa bahasa belajar untuk menemukan kembali. Mereka harus "membeli" dengan harga yang mahal.
Bila sudah ada produk tertulis dalam bahasa daerah, siapa yang dengan mudah membacanya?Â
Â