Mohon tunggu...
Heronimus Bani
Heronimus Bani Mohon Tunggu... Guru

Menulis seturut kenikmatan rasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghempaskan dan Membeli kembali Identitas

16 Mei 2025   12:32 Diperbarui: 16 Mei 2025   17:20 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam satu sesi acara peresmian rumah adat di TTS; foto: Ansel Bani

Pengantar

Mungkinkah judul ini menarik? Hanya para pembaca yang dapat menjawab. Satu hal saya dapatkan ketika menghadiri acara penutupan Festival Lasiana. Pada acara penutupan ini, Ketua Majelis Sinode GMIT menyampaikan kritik menarik dan menggelitik tentang kebudayaan masyarakat adat. Bahwasanya pada masa lalu ketika agama baru diterima, hal-hal yang didapati di tiap komunitas dalam lokus-lokus oleh agama baru dianggap kafir, sehingga haruslah dibuang/dihempaskan. 

Menghempaskan hal-hal yang sudah identik dengan diri tiap komunitas hingga satu sub suku dan suku bangsa. Proses itu selanjutnya bagai sedang menghilangkan jati diri. Maka, ketika jati diri sirna/hilang, komunitas itu sendiri bagai sedang berada di luar dirinya, di luar konteks kehidupan bersama. Mereka telah menjadi berbeda. Maka, tidak mengherankan bila orang mulai bingung untuk menemukan kembali jalan menuju jati diri, identitas.

Tulisan ini mencoba merangkai dari berbagai sumber tentang unsur-unsur kebudayaan yang membedakan antar komunitas, sub etnis/suku dan etnis. Semua yang perlahan dihempaskan sehingga menghilangkan jati diri, dalam satu atau dua dekade terakhir sedang dicari untuk dikembalikan. Pencarian hingga menemukan dengan satu pendekatan moderna yakni, membeli.

Unsur-Unsur Kebudayaan

Pertama, Bahasa.

Manusia hidup mengelompok pada satu lokus, baik itu sebagai satu kawasan/wilayah dengan penentuan batas tertentu. Pada batas-batas tertentu itu ada kelompok lain yang mungkin sama atau mirip. Mereka yang hidup dalam satu kelompok berkomunikasi dengan bahasa, dan berlanjut dengan kelompok lain di perbatasan wilayah. Dapat saja kelompok/komunitas yang berbatatasan kawasan itu mempunyai satu model bahasa namun berbeda dalam dialek, intonasi/aksen, kosa kata dan lain-lain unsur bahasa. Semua itu menjadi marka yang membedakan komunitas, sub etnis dan etnis dalam berbahasa. Dapat saja mereka punya induk bahasa yang sama, namun berbeda dalam hal-hal tertentu. 

Kini, bahasa daerah perlahan-lahan telah mengalami penggeseran menuju penggusuran. Bahasa daerah menjadi ketinggalan zaman. Lalu, para ahli bahasa dan mahasiswa bahasa belajar untuk menemukan kembali. Mereka harus "membeli" dengan harga yang mahal.

Bila sudah ada produk tertulis dalam bahasa daerah, siapa yang dengan mudah membacanya? 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun