Kita baru saja mencatat dua hal seperti itu, namun dapat segera sadar bahwa kebudayaan hidup, tumbuh dan berkembang bersama umat manusia. Â Kita dapat maju untuk mencatat lebih banyak lagi produk kebudayaan yang lahir atas perintah Tuhan Allah. Dari catatan-catatan itu pertanyaan dan persepsi mungkinkah Tuhan Allah ada dalam kebudayaan? Kita dapat menjawab bahwa Ia ada dalam kebudayaan. Ia sendiri telah menganugerahkan kepada umat manusia kecakapan, kepakaran agar dapat mewujudkan sesuatu yang sebelumnya ada di dalam olah pikir, muncul dalam perkataan (dan tulisan), hingga dapat diwujudkan bentuknya/modelnya.Â
***
Saya ajak pembaca ke Nusa Tenggara Timur khususnya dalam wilayah pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Wilayah pelayanan GMIT di Nusa Tenggara Timur kecuali Pulau Sumba. Nusa Tenggara Barat ada dalam wilayah pelayanan GMIT dan beberapa jemaat diaspora di Surabaya dan Batam.
Gereja Masehi Injili di Timor tidak melayani di dalam ruang kosong. Tugas/misi pemberitaan Firman Tuhan berada di dalam ruang yang berkebudayaan. Bahwasanya terdapat sejumlah etnis di sana, bukanlah menjadi tembok besar yang menghalangi pemberitaan Firman Tuhan, tetapi justru menjadi peluang sekaligus tantangan pemberitaan Firman Tuhan.
Firman Tuhan sendiri tidak mengenal batas geografis dalam pemberitaan. Ketika Injil tiba di Rote, Timor, Alor, Sabu, Semau, Flores, Sumbawa, di sana masyarakat sudah berkebudayaan. Nuansa kebudayaan masyarakat pada masa itu bersifat "agamawi". Banyak hal sebagai produk kebudayaan di dalamnya ada pengakuan akan adanya satu hal yang lebih tinggi kuasanya di luar jangkauan manusia pada tiap etnis dan entitas.
Cerita di sekitar pemusnahan benda-benda pusaka atas alasan "pembersihan/penyucian" agar tiap orang atau komunitas etnis dapat menjadi orang yang dapat diterima sebagai penganut agama Kristen. Benda produk kebudayaan yang dimusnakan atas nama penyucian itu menyebabkan citra dan jati diri perlahan mulai sirna.
Lalu, jika kita bertanya pada zaman modern dengan kemajuan yang tak dapat dibendung ini: siapakah Gereja Masehi Injili di Timor?
GMIT memahami diri sebagai murid Kristus. Maka, murid Kristus yang demikian perlu berada di jalur kebudayaannya demi kemuliaan Tuhan. Jalur kebudayaan itu perlu dicermati sedemikian rupa sehingga ketika memasukkannya ke dalam unsur liturgi tidak mengesankan sinkretisme. Jadi bulan budaya lahir.
Dalam beribadah dengan refleksi bulan budaya orang perlu menyadari bahwa:
- Relevansi dan Konteks: Ketika orang menggunakan produk budaya seperti: musik, seni, bahasa, simbol, dan lain-lainnya yang akrab atau familiar dalam kehidupan berjemaat, maka hal itu dapat membuat ibadah terasa lebih relevan dan kontekstual. Ini membantu pesan Injil lebih mudah dipahami dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Contoh baca di sini dan di sini
- Keterlibatan dan Ekspresi: Pendekatan ini dapat mendorong partisipasi aktif dari jemaat yang mungkin merasa lebih terhubung dan mampu mengekspresikan iman mereka melalui medium budaya yang mereka pahami.Â
Lihat contoh berikut dalam video:
- Inkulturasi: Dalam teologi misi, inkulturasi adalah proses di mana Injil diwartakan dan dihidupi dalam konteks budaya tertentu tanpa kehilangan esensi intinya. Penggunaan produk budaya lokal bisa menjadi wujud dari upaya inkulturasi yang positif.
- Daya Tarik: Ibadah yang kreatif dan menggunakan elemen budaya yang menarik dapat menjangkau lebih banyak orang, termasuk generasi muda yang mungkin kurang tertarik dengan format ibadah tradisional.
- Kekayaan Ekspresi Iman: Setiap budaya memiliki cara unik untuk mengekspresikan spiritualitas dan nilai-nilai luhur. Mengintegrasikan produk budaya dapat memperkaya cara jemaat memahami dan merayakan iman mereka