Kedua pramu-acara ini sukses "memadamkan" semua api rokok di dalam tenda. Nyamanlah kerabat, sahabat dan tamu undangan. Acara berlangsung tanpa asap rokok. Pertanyaannya, bagaimana keduanya sukses "memadamkan" api rokok dari para perokok? Kira-kira begini ujaran santun yang keluar dari ide/inspirasi keduanya.
bahwasanya dalam budaya kita ada ungkapan ta'eku ma tateef ate, atmaam am tasboo. Itu yang membudaya pada kita, namun kami perlu sampaikan bahwa Bupati Kupang telah mengeluarkan peraturan agar ketika berada dalam pertemuan-pertemuan umum sebaiknya tidak ada asap yang disemburkan dari mulut para perokok. Di tempat acara kita saat ini, kami tidak bermaksud hendak melarang siapa pun yang suka merokok, namun atas dasar peraturan itu, kami perlu menyampaikannya. Biarlah acara ini berlangsung sampai selesai, kemudian silakan merokok di luar daripada ruang di mana kita duduk bersama. Maafkan kami berdua, kami hanya menyampaikan peraturan itu tanpa melawan budaya tmaam am tasboo.
Acara pun dimulai. Satu acara adat yang tidak biasa mulai berlangsung. Pemimpin acara yakni tuan rumah Umi Nii Baki-Koro'oto. Ia menggelar sehelai kain tenun, duduk di atasnya, bersila, memegang mic yang membantu mengantar suara agar terdengar oleh semua orang yang duduk di dalam tenda atau yang di luar tenda. Tuan rumah Umi Nii Baki-Koro'oto berhadapan dengan satu tim kecil keluarga yang menyerahkan seorang pemuda agar menjadi bagian tak terpisahkan untuk selamanya pada Umi Nii Baki-Koro'oto.
Tempat sirih-pinang silih berganti pergi dan kembali, baik dari tangan tuan rumah Umi Nii Baki-Koro'oto dan sebaliknya dari keluarga dari pihak yang menyerahkan anak. Sederhana saja, acara ini namun mengandung makna yang sangat mendalam dan berkesan. Alasannya, pada anak bukan biologis dari dalam Umi Nii Baki-Koro'oto akan disematkan nama sakral yang disebut akuf/akun yang sama dengan pihak keluarga yang menerima. Nama akun/akun akan melekat tanpa dokumen. Nama itu akan melekat selamanya baik pada diri penerima dan berlanjut pada keturunannya.
Pihak-pihak yang menerima tempat-sirih berisi sirih, pinang dan sebentuk amplop yakni: pemangku adat di dalam desa (Ketua RT dan perangkat di atasnya hingga Kepala Desa), saudara dan orang tua kandung, pihak institusi keagamaan (Anggota Majelis gereja lokal). Mereka yang menerima dari pihak pemangku adat dan anggota MJ gereja lokal menjadi saksi hidup atas berlangsungnya satu item hukum adat dari dua keluarga.
Pada gambar dengan keterangan Orang tua yang saling menerima sebagai saudara;Â pasangan suami-isteri yang berseragam menempatkan sehelai kain tenun pada ayah dari anak yang diserahkan. Tempat sirih-pinang yang diletakkan di meja sebagai simbol terima kasih telah menyerahkan seorang anak menjadi anak yuridis adat pada pasangan suami-isteri ini. Kain tenun yang ditempatkan di bahu sebagai pertanda penerimaan untuk selanjutnya menjadi saudara yang tak terpisahkan di dalam rumah adat Umi Nii Baki-Koro'oto.
Anak yang diserahkan telah berlangsung pada masa yang sangat lama di atas 20 tahun. Saat itu, ada kejadian ibu meninggal dunia. Bapak merasa perlu menyerahkan anaknya kepada orang yang tepat untuk merawat dan membesarkan, jika memungkinkan menyekolahkannya. Tanggung jawab telah diterima, anak itu telah mencapai pendidikan tinggi dan berprofesi sebagai Jurnalis/Wartawan media online https:/infontt.com. Seorang Jurnalis/Wartawan yang telah lulus uji kompetensi dengan sebutan Wartawan Muda.
Seluruh rangkaian acara adat mencapai puncaknya ketika pemimpin upacara adat menyampaikan bahwa seseorang anak (pemuda) telah diterima menjadi bagian tak terpisahkan dari Umi Nii Baki-Koro'oto dan kepadanya telah disematkan nama sakral (akuf/akun). Selanjutnya kepada pemangku adat, pemangku institusi keagamaan, kerabat, sahabat dan publik yang paham budaya, akan menyapa sesuai nama itu, selain nama yang tertera di dalam dokumen-dokumen resmi.