Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Perempuan yang Membawa Air Mata

18 Januari 2019   11:30 Diperbarui: 18 Januari 2019   11:47 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Maeve Dewar/ saatchiart.com

Perempuan itu hadir di saat lelap. Ia datang membawa kata dan air mata. Menyapa, menyeka lalu mengobati luka - luka di hati. Pernah sekali ia hadir tanpa aksara. Hanya isyarat, air mata. Luka - lukaku dibasuh dan diciuminya. Sedikit pun ia tak jijik pada setiap luka yang menyembur nanah. Sesekali ia mengambil borok yang berjatuhan dan menempelkannya di sekujur tubuhnya.

"Biar aku turut merasakan luka -- lukamu" katanya.

Ia tak hanya membawa dan menyimpan air mata untukku, tapi diminumnya serta. Nanah yang telah bersatu dengan bening air mata, seketika keruh. Ada sakit yang paling.

"Kelak kau akan tahu semua yang kulakukan padamu." Suara yang kudengar di setiap banjir air matanya.

Mengapa di setiap bulir air mata perempuan itu, ada teduh yang kurasakan? Gelisah batin. Tentang air mata. Aku tak ingin menyaksikan rengek perempuan. Cukuplah air mata itu ada ketika Tuhan mau menitipkan anak-anak manusia di rahimnya. Kelahiran -- tangis bayi -- kehidupan, sudah sangat cukup membuat mereka kuyup oleh air mata. Jangan ada lagi. Apapun alasannya.

Ada yang lain dengan air mata perempuan itu. Tak ada benci seperti air mata Mena, mantan kekasih. Setiap kubangan air matanya ialah teduh.

"Ah, jika setiap air mata itu teduh, aku akan memilih bermain-main, tenggelam berlama-lama di dalamnya." Batin menyangkal trauma, air mata.

"Sebelum kau ada, telah kusediakan bagimu air mata paling teduh. Hingga suatu malam di bulan keenam, di bawah pijar purnama, di Ume Nunsena, daun-daun musim menyaksikan kedatanganmu. Ada tangis yang pecah. Itu suaramu. Duka bagiku. Tahukah kau bahwa setiap saat aku selalu membawa air mata ini?"  

Seperti tandus di puncak Sonmahole. Dalam curahnya aku melihat duka-dukanya berjatuhan. Setiap kata ialah air mata. Setiap kata ialah sembuh. Perempuan itu menyembuhkan luka-lukaku. Saat yang sama, duka-dukanya menjelma sukacita. Aku melihat air matanya paling bening, setelahnya.

Perempuan itu, Ibu.

___________

Insaka, 2018

HETanouf

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun