Oleh : Heri Surahman, S.Pd., Gr.
Salah satu tayangan yang menjadi konsumsi publik di media sosial baru-baru ini adalah viralnya tiga pria berseragam dinas yang diduga sebagai oknum guru sedang berlenggok gemulai di depan kamera. Tak pelak tontonan ini mengundang banyak respon dari netizen yang rata-rata menyayangkan sikap demikian sebagai sajian apalagi dengan latar belakang seorang pendidik.
Sebelumnya video dari lima remaja putra yang mengenakan seragam SMA juga menarik perhatian. Sama halnya dengan kejadian di atas, lima pelajar tersebut tengah santai dan menikmati setiap alunan musik beriring dengan gerakan kemayunya.
Globalisasi berkenaan dengan teknologi seyogyanya menjadi fasilitas yang mampu menghadirkan terobosan positif untuk semua khalayak. Namun pemanfaatan yang kurang bijak karena anggapan tentang 'normalisasi' menjadikan konsumsi sampah yang sungguh memperihatinkan.Â
Terikat pada satu benang merah, penanaman karakter sikap dari setiap individu perlu mengalami pembatasan mengenai kebenaran dan kewajaran. Seperti yang dikatakan Wyne, karakter adalah penanda dari cara seseorang dalam memfokuskan bagaimana cara mengaplikasikan suatu nilai kebaikan dalam bentuk tindakan maupun tingkah laku. Oleh sebab itulah, permisalan seorang individu yang memiliki perilaku tidak jujur, kejam ataupun rakus dapat dikatakan sebagai seseorang yang memiliki karakter jelek. Sementara seseorang yang memiliki perilaku jujur dan gemar menolong sesama dapat dikatakan sebagai seseorang yang memiliki karakter mulia. Jadi, bisa digarisbawahi poin penting dalam pernyataan tersebut ialah karakter berhubungan dengan tindakan dan nilai kebaikan seseorang. Nilai kebaikan merupakan moral. Sementara moral akan terbentuk baik dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Tentunya sebelum karakter seorang diperkokoh dengan sikap atau perbuatan, lingkungan terdekat telah memberikan tanggapan tentang mana benar dan mana yang salah.
Problem kompleks lainnya dalam viralnya video-video tersebut selain sikap sebenarnya adalah bahwa karakter pria kemayu, ulat bulu, atau tulang lunak itu masuk ke arah konsumsi publik. Apabila telah berada dalam ranah ini tentu filter atau penyaringan sangat perlu untuk diterapkan.
Sebagai pendidik, penulis sangat miris menyaksikan betapa generasi muda khususnya pemuda yang seharusnya tegap berdiri dengan prestasi dan semangat perjuangan malah tercandu dan menjelma menjadi pria melambai. Semakin berantakan perasaan penulis dengan penambahan sikap seolah mendukung dari tereksposnya jogetan tiga pria diduga oknum guru dengan wajah tanpa penuh penyesalan.Â
Sekarang, mari kita mundur sejenak untuk meninjau keterhubungan berita pada bulan Oktober lalu tentang Program Wajib Militer dari Presiden RI, Prabowo Subianto yang setelah ditelusuri kebenarannya ternyata merupakan program kurikulum pelatihan komponen cadangan. Hal tersebut sangat konsisten di mana sebelumnya saat masih menjabat Menhan, beliau telah meneken Peraturan Nomor 4 Tahun 2011 tentang kurikulum pelatihan komponen cadangan.
Ada kesamaan dan perbedaan mendasar mengenai program wajib militer dengan pelatihan komponen cadangan. Secara ringkas, menurut Wikipedia wajib militer atau sering kali disingkat sebagai wamil adalah kewajiban bagi warga negara berusia muda terutama pria, biasanya antara 18 - 27 tahun untuk menyandang senjata dan menjadi anggota tentara dan mengikuti pendidikan militer guna meningkatkan ketangguhan dan kedisiplinan orang itu sendiri. Wamil biasanya diadakan guna untuk meningkatkan kedisiplinan, ketangguhan, keberanian dan kemandirian seorang itu dan biasanya diadakan wajib untuk pria.
Dikutip dari buku Explore Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jilid 3 untuk SMP/MTs Kelas IX, Untari dan Ginawan (2019: 158), beberapa tujuan pelatihan dasar kemiliteran, antara lain:
1. Meningkatkan pemahaman tentang bela negara.
2. Menanamkan rasa cinta terhadap tanah air.
3. Mengembangkan sikap disiplin dan karakter positif lain dalam diri warga negara.
4.Memperkenalkan serta memberikan latihan dasar tentang kemampuan olah kemiliteran.
 Sementara itu Komponen cadangan direkrut dari semua warga negara pria dan wanita yang bukan anggota TNI atau Polri saat ini, dan ini bersifat sukarela. Penerima baru harus berusia minimal 18 tahun hingga maksimal 35 tahun pada hari pertama pelatihan dasar militer, memiliki tubuh yang sehat dan pikiran yang sehat, tidak memiliki catatan kriminal yang dibuktikan dengan pernyataan polisi, dan harus setidaknya lulusan sekolah menengah pertama (Sekolah Menengah Pertama atau SMP sederajat). Pembinaan akan dilakukan secara menyeluruh, termasuk soal pemakaian senjata. Pembinaan dilakukan pada 3 bidang studi, yaitu mental, hukum, dan teknik-taktik militer.Â
Adapun fungsi pelatihan komponen cadangan yaitu menambah kekuatan pengganda dan mendukung langsung komponen utama melalui mobilisasi guna mempertahankan negara dari ancaman militer dan hibrida baik di dalam maupun di luar negeri.
Persamaan Wamil dan pelatihan komponen cadangan tentu bahwa dua program ini selain sebagai upaya bela negara juga pembentuk karakter mental yang tangguh dan disiplin. Adapun perbedaannya secara sederhana ada pada proses rekrutmen dan tentu isi dari beberapa program di dalamnya. Wajib militer beracuan sebagai sebuah kewajiban sementara komponen cadangan itu bersifat sukarela.Â
Jika Pemerintah melalui regulasi panjang pada tahun sebelumnya mencoba menerapkan kurikulum pendidikan dengan kandungan pelatihan komponen cadangan maka diharapkan ada beberapa KRITERIA yang semestinya mewajibkan bagi pelajar sampai guru untuk ikut berpartisipasi di dalamnya.Â
Hal ini sebenarnya sehaluan dengan permasalahan awal tentang perkembangan karakter pelajar hingga guru di era digital sekarang. Oleh sebab itu adanya sebuah rencana Pemerintah, penulis sikapi sebagai satu peluang untuk dijadikan solusi kuat agar generasi pelajar Indonesia tetap harmoni susila dan guru tetap satu rel dalam "Ing Ngarsa Sing Tuladha (di depan memberi contoh teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangkitkan kemauan dan semangat orang lain), serta Tut Wuri Handayani (di belakang mengawasi dan memberikan dorongan).
Bionarasi
                   Â
Heri Surahman mempunyai nama pena Heri Haliling seorang guru di SMAN 2 Jorong. Lahir di Kapuas, 17 Agustus 1990 karya-karya yang telah ia telurkan antara lain:
1. Novlet Rumah Remah Remang (J-Maestro, 2024)
2. Novel Perempuan Penjemput Subuh (Juara 2 Sayembara Novel Guru dan Dosen; Aksara Pustaka Media, 2024)
3. Beberapa cerpennya termuat dalam Koran Radar Utara, Balipolitika, Republika, dan Kompasiana.
Nama FB : Heri Surahman
IG : Heri_Haliling
Email : heri.surahman17@gmail.com
No Wa : 083104239389
No ATM BNI : 1906999595 a.n. Heri Surahman
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI