Alma mengangkat wajahnya sambil meletakkan jaket di atas bangku kayu tepi danau. Siang yang cukup hangat. Angin awal musim semi menerpa rambut brunette Alma yang tergerai indah, menutupi sebagian wajah oval remaja yang sebentar lagi memasuki usia dewasa.Â
Beberapa ekor bebek Mallard nampak riang berceloteh. Mungkin mereka satu keluarga atau hanya sekelompok bebek yang hidup bahagia berdampingan. Sesekali tampak Alma tersenyum memperhatikan tingkah bebek liar di seberang tempatnya duduk. Alma mengabadikan momen itu dengan ponsel merah di tangannya.
Wajah Alma menengadah, memperhatikan awan cumulus. Raut mukanya berubah murung, ada cahaya bening terpancar dari air mata yang ditahannya.
Hampir empat bulan Alma tidak mendengar kabar dari Rami. Pria muda yang telah mengisi hati Alma lebih dari setahun terakhir ini. Panggilan dan pesan Alma melalui ponsel tidak pernah terjawab. Alma menghela napas, melepaskan bongkahan gelisah yang memenuhi dadanya.
Alma mengenal Rami ketika sedang menghadiri Studienmesse yang diadakan di Stuttgart. Pandangan Alma tidak lepas dari sosok laki-laki dengan rambut hitam ikal. Pria muda itu tampak sedang berbicara dengan seorang pria di stan Bosch.Â
Seperti ada magnet yang menarik diri Alma mendekati stan itu. Rami mengalihkan pandangannya ke wajah Alma. "Hallo!" ujarnya pendek dengan senyum ramah di bibirnya.
Pria yang bertugas menerangkan mengenali Duales Studium yang ditawarkan oleh Bosch untuk calon mahasiswa. Rami tampak sangat antusias mendengar.Â
Konsentrasi Alma terpecah-pecah, sebentar memperhatikan penjelasan, detik lainnya matanya beralih memandangi wajah Rami. "Laki-laki muda yang begitu penuh kharisma," gumam Alma dalam hati.
Obrolan Alma dan Rami berlanjut. Kedua anak muda ini berjalan mengelilingi aula pameran dan mampir ke beberapa stan yang menarik perhatian mereka. Â Â
Di mata Alma, Rami begitu memesona. Alam merasa ada hal istimewa yang tersembunyi di mata Rami. Anak muda yang memancarkan ketangguhan sekaligus memiliki hati yang lembut.Â
Rami adalah satu dari sebagian pengungsi yang datang ke Jerman. Dia berasal dari Suriah, tepatnya Damaskus. Kota indah yang terpaksa harus ia  tinggalkan karena hancur lebur akibat perang. Jantung Alma seperti ditusuk-tusuk jarum saat mendengar Rami bercerita.Â
"Sekarang kami sekeluarga bisa berkumpul lagi di negeri ini," ujar Rami. Wajahnya tampak tenang, meskipun ada gurat kesedihan yang ia tutupi dengan tawa kecil.
Itulah perjumpaan pertama mereka, lalu hubungan mereka makin dekat. Alma dan Rami tinggal di Tübingen, kota universitas yang terkenal sebagai kota pusat ilmu pengetahuan dan penelitian, khususnya bioteknologi dan nanoteknologi.Â
Saat berkenalan, Rami sedang berada di tahun akhir sekolah menengah atas, sementara Alma setahun di bawahnya.
"Aku nggak pernah melihatmu," kata Alma. Perempuan muda ini merasa lucu. Jarak sekolah mereka hanya sekitar 500 meter, tetapi dia belum pernah sekali pun berpapasan dengan Rama di jalan.
Ucapan Alma disambut tawa renyah Rami. "Aku beberapa kali melihatmu di Bahnhof," ujar Rami.
"Echt?" Mata Alma membesar melihat Rami.Â
Tawa pemuda itu makin keras. Alma membalas dengan wajah tertekuk.
Dari pertemanan, hubungan mereka berubah menjadi sepasang kekasih. Alma seperti mendapatkan ketenangan dan semangat yang luar biasa saat berada di dekat Rami. Mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama, berjalan-jalan di taman dekat danau di depan area sekolah mereka, atau menikmati makanan ringan sepulang sekolah.
Rami banyak bercerita tentang keindahan Damaskus sebelum porak-poranda diterjang perang. Sesekali Alma diundang Rami ke rumahnya, menikmati makan siang bersama keluarganya. Masakan ibu Rami begitu lezat di lidah perempuan muda ini.
Rami mengenalkan Alma tentang budaya dan kuliner Suriah, juga ungkapan-ungkapan bahasa Arab dan keindahan kaligrafi Islam. Bagi Alma, Rami adalah kekuatan yang membuatnya bangkit kembali.Â
Kesedihan yang dialami Alam dari perpisahan kedua orang tuanya lima tahun lalu membuatnya terombang-ambing. Meskipun hubungan kedua orang tuanya tampak baik-baik saja setelah berpisah, tetapi keluarga mereka telah hancur. Alma tinggal dengan papanya, sedangkan adik laki-lakinya Laurin tinggal dengan mamanya di kota lain.
Setengah tahun setelah hubungan mereka, Alma mengatakan niatnya yang telah bulat. Alma ingin memeluk Islam.
"Bist du dir sicher?" Konvertiert ke Islam merupakan jalan panjang dan tidak gampang."Â
Alma mengangguk menjawab Rami. Tekadnya bulat dan tidak main-main. Selama ini Alma telah mencari tahu mengenai Islam. Alma merasa, makin dia mempelajari Islam, makin besar ketertarikan dan ketenangan dalam batin yang dirasakannya.
Mama dan papa Alma sepenuhnya mendukung dan menghormati keputusan Alma untuk memeluk Islam.Â
"Kami ingin kau bahagia, Alma. Apa pun pilihanmu, mama dan papa selalu ada untukmu." Mama Alma mengatakan dengan rasa haru yang tak bisa disembunyikan.
Rami banyak membantu Alma, mengenalkan doa-doa pendek, menjadi mentornya mempelajari Al-Quran. Alma terlihat bahagia. Dia merasakan hidupnya menjadi lebih indah dan berarti. Â
Lalu... Rami pergi.Â
Rami seperti hilang ditelan bumi.Â
Pertemuan mereka terakhir saat Rami berpamitan untuk pergi ke Damaskus. Setelah jatuhnya rezim yang berkuasa di Suriah, Rami bergabung dengan kelompok pemuda Suriah yang kembali ke Damaskus untuk menata kembali negerinya. Rami berpamitan dan tidak akan lama berada di Damaskus, karena dia sedang menjalani masa pendidikan di Stuttgart.Â
Keluarga Rami menyusul sebulan kemudian, setelah mereka menganggap keadaan di kota mereka mulai membaik. Bagi orang tua Rami, Suriah adalah negara tempat mereka kembali. Impian mereka akhirnya terwujud.
Apa yang terjadi dengan Rami di sana? Apakah Rami baik-baik saja di negerinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam diri Alma. Dia tidak tahu harus mencari kabar tentang Rami pada siapa. Alma terombang-ambing dalam ketidakpastian.Â
Angin musim sore membuat Alma sedikit menggigil. Alma berdiri, melangkah meninggalkan bangku kayu. Sebentar lagi waktu berbuka puasa tiba. Ini adalah Ramadan pertama bagi Alma. Ramadan yang terasa sangat sunyi. Masa puasa yang dijalani Alma seorang diri. Tidak ada lagi sapa dan senyuman Rami menemani hari-harinya.
Dari jendela kamar, Alma menatap dahan yang bergoyang-goyang. Deru angin cukup keras didengarnya, seperti jeritan yang berkecamuk dalam hatinya. Ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab yang memenuhi kepalanya.Â
Tubuh Alma bergetar, air matanya tumpah. Alma merasa terperangkap dalam lubang kesendirian yang teramat dalam.Â
"Aku benar-benar sendirian," gumam Alma dalam hati. Jalan keimanan yang dipilih Alma, tiba-tiba menghadirkan kegelisahan yang belum pernah dirasakannya.
Alma berjalan ke kamar mandi dan berwudu. Tidak ada tempatnya mengadu kecuali kepada Allah.Â
Perjalanan keimanan pilihannya, yang panjang dan penuh liku.
Kehangatan menjalar di nadi-nadi dalam tubuh Alma. Ada secercah harapan dan ketenangan yang dirasakan Alma.Â
Keterangan:
- Studienmesse: pameran pendidikan
- Bosch: perusahaan teknologi internasional yang berasal dari kota Stuttgart. Â
- Duales Studium: kombinasi kuliah di universitas dan pelatihan kejuruan di perusahaan yang ditawarkan oleh perusahan di Jerman
- Bahnhof: stasiun kereta
- Echt?: sungguh, benarkah?
- Bist du dir sicher?: Kamu yakin?
Hennie Triana Oberst
Germany, 28.03.2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI