Rami adalah satu dari sebagian pengungsi yang datang ke Jerman. Dia berasal dari Suriah, tepatnya Damaskus. Kota indah yang terpaksa harus ia  tinggalkan karena hancur lebur akibat perang. Jantung Alma seperti ditusuk-tusuk jarum saat mendengar Rami bercerita.Â
"Sekarang kami sekeluarga bisa berkumpul lagi di negeri ini," ujar Rami. Wajahnya tampak tenang, meskipun ada gurat kesedihan yang ia tutupi dengan tawa kecil.
Itulah perjumpaan pertama mereka, lalu hubungan mereka makin dekat. Alma dan Rami tinggal di Tübingen, kota universitas yang terkenal sebagai kota pusat ilmu pengetahuan dan penelitian, khususnya bioteknologi dan nanoteknologi.Â
Saat berkenalan, Rami sedang berada di tahun akhir sekolah menengah atas, sementara Alma setahun di bawahnya.
"Aku nggak pernah melihatmu," kata Alma. Perempuan muda ini merasa lucu. Jarak sekolah mereka hanya sekitar 500 meter, tetapi dia belum pernah sekali pun berpapasan dengan Rama di jalan.
Ucapan Alma disambut tawa renyah Rami. "Aku beberapa kali melihatmu di Bahnhof," ujar Rami.
"Echt?" Mata Alma membesar melihat Rami.Â
Tawa pemuda itu makin keras. Alma membalas dengan wajah tertekuk.
Dari pertemanan, hubungan mereka berubah menjadi sepasang kekasih. Alma seperti mendapatkan ketenangan dan semangat yang luar biasa saat berada di dekat Rami. Mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama, berjalan-jalan di taman dekat danau di depan area sekolah mereka, atau menikmati makanan ringan sepulang sekolah.
Rami banyak bercerita tentang keindahan Damaskus sebelum porak-poranda diterjang perang. Sesekali Alma diundang Rami ke rumahnya, menikmati makan siang bersama keluarganya. Masakan ibu Rami begitu lezat di lidah perempuan muda ini.
Rami mengenalkan Alma tentang budaya dan kuliner Suriah, juga ungkapan-ungkapan bahasa Arab dan keindahan kaligrafi Islam. Bagi Alma, Rami adalah kekuatan yang membuatnya bangkit kembali.Â