Keinginan sering kali dipengaruhi oleh imajinasi, ekspektasi, atau bahkan gaya hidup yang tidak representatif. Maka lahirlah spesifikasi yang bombastis: kecepatan maksimum 120 km/jam, jarak tempuh 200 km, fast charging hanya 1 jam. Padahal, realitas di jalan jauh berbeda. Rata-rata kecepatan dalam kota hanya 40 km/jam, kebutuhan jarak tempuh harian 20--50 km, dan charging semalaman sudah lebih dari cukup.
Lebih parah lagi, masyarakat kita sering mengambil keputusan berdasarkan kebutuhan ekstrem yang porsinya sangat kecil. Contoh klasik adalah mudik lebaran: satu kali perjalanan jauh dalam setahun seakan-akan dijadikan standar utama memilih kendaraan. Padahal 360 hari sisanya kendaraan hanya dipakai untuk kebutuhan harian di dalam kota.
Ketika survei hanya menangkap keinginan, maka kebijakan pun ikut terseret ke arah yang tidak relevan. Kita berakhir dengan sepeda motor listrik yang terlalu mahal, terlalu kompleks, dan terlalu jauh dari kebutuhan mayoritas rakyat. Padahal, jika kita mau jujur, kebutuhan masyarakat jauh lebih sederhana: kendaraan yang bisa diisi di rumah, murah, praktis, dan cukup untuk mobilitas harian.
Ojol: Etalase yang Disalahpahami
Salah satu bias terbesar dalam kebijakan EV adalah fokus berlebihan pada ojek online. Karena mereka butuh swap battery dan fast charging, maka seluruh ekosistem nasional diarahkan ke sana. Padahal, jumlah ojol sangat kecil dibanding populasi pengguna sepeda motor secara keseluruhan.
Penggunaan EV oleh ojol seharusnya menjadi etalase---panggung untuk menunjukkan ketangguhan teknologi EV. Bahwa sepeda motor listrik sanggup menempuh jarak panjang, dipakai intensif, dan tetap andal. Tapi menjadikan ojol sebagai tujuan akhir adalah kesalahan. Fokus yang terlalu sempit justru membuat sepeda motor listrik gagal berkembang sebagai kendaraan masyarakat luas. Sepeda motor listrik kemudian identik dengan image sebagai kendaraan kerja bagi ojol dan kurir.
Infrastruktur yang Salah Sasaran
Karena bias ojol ini pula, pembangunan infrastruktur publik menjadi prioritas. SPBKLU dan SPKLU dibangun di mana-mana. Padahal, di negara-negara yang lebih maju dalam adopsi EV, mayoritas pengisian daya dilakukan di rumah. Untuk sepeda motor listrik, pola ini jauh lebih masuk akal. Konsumsi energinya kecil dan bisa dipenuhi dengan daya listrik rumah tangga.
Jika arah pengembangan terlalu menekankan pembangunan infrastruktur publik, justru manfaat sepeda motor listrik sebagai moda sederhana akan hilang.
Pemerintah Belum Memberi Teladan
Di tengah euforia kebijakan, pemerintah sendiri belum memberi contoh nyata. Armada dinas, kendaraan operasional instansi, hingga motor patroli masih didominasi bensin. Padahal, transisi EV seharusnya dimulai dari institusi publik. Tanpa teladan, wacana migrasi hanya berhenti di slogan.