Pada 18 September 2025, saya menghadiri sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh AISMOLI, Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia. Kami yang hadir berbicara panjang lebar tentang masa depan kendaraan listrik, tentang ekosistem, tentang percepatan adopsi. Tapi pulang dari sana, saya justru membawa kegelisahan.
Alih-alih memperkuat optimisme, saya pribadi merasa diskusi itu memperlihatkan betapa jauhnya arah kebijakan dan strategi industri dari kebutuhan nyata masyarakat. Yang lebih mengganggu: mindset lama---yang seharusnya sudah ditinggalkan---masih mendominasi cara berpikir banyak pengambil keputusan.
Sepeda Motor Listrik dan Kesederhanaan yang Terlupakan
Sepeda motor listrik lahir dari gagasan yang sederhana dan kuat: menghadirkan moda transportasi yang efisien, murah, praktis, dan ramah lingkungan. Ia tidak membutuhkan SPKLU megah, tidak perlu ekosistem rumit seperti mobil listrik. Justru kesederhanaan itulah kekuatannya.
Namun kini, hampir semua stakeholder sibuk membangun infrastruktur besar yang tidak relevan. SPBKLU dan SPKLU bermunculan di mana-mana, seolah sepeda motor listrik harus tunduk pada logika kendaraan bensin (ICE). Padahal, sepeda motor listrik bisa diisi di rumah dengan colokan biasa. Perawatannya ringan. Konsumsi energinya kecil. Begitu logika ICE diterapkan, keunggulan alaminya hilang. Yang seharusnya jadi solusi sederhana malah dipaksa masuk ke sistem yang kompleks dan mahal.
Mindset ICE yang Masih Menyusup
Inilah akar masalahnya: mindset. Banyak pembuat kebijakan dan pelaku industri masih menggunakan kerangka pikir kendaraan bermesin bensin ketika membicarakan sepeda motor listrik. Karena terbiasa dengan SPBU, bengkel besar, dan sistem sentralistik, mereka pun memaksakan hal yang sama pada EV roda dua.
Muncullah SPKLU dan SPBKLU sebagai prioritas, lengkap dengan regulasi dan investasi besar. Padahal, untuk sepeda motor listrik, logika ini tidak relevan. Kita sedang memaksakan sistem mobil listrik ke kendaraan yang justru dirancang untuk lepas dari ketergantungan infrastruktur besar.
Survei yang Menyesatkan: Antara Keinginan dan Kebutuhan
Salah satu hal yang paling mengganggu, saya sampaikan dalam diskusi AISMOLI adalah cara survei digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Banyak survei yang dilakukan tampaknya lebih menyoroti "apa yang diinginkan" oleh responden, bukan "apa yang dibutuhkan." Ini bukan sekadar perbedaan semantik---ini perbedaan paradigma.