Bila seseorang 'diambil' dari permukaan laut dan 'ditaruh' di puncak Everest, maka dia akan langsung pingsan dalam hitungan menit dan tidak akan pernah bangun lagi.
Seorang pendaki yang sudah aklimatisasi, dengan bantuan oksigen akan dapat bertahan, tapi tetap saja fisiknya tidak akan dapat berfungsi dengan normal dan tidak dalam jangka waktu yang panjang.
Tubuh akan menjadi sangat rentan terhadap hipotermia (suhu tubuh menurun drastis), hipoksia (tubuh tidak berfungsi dengan normal karena kekurangan oksigen), 'frostbite' (jaringan kulit dan otot mati karena paparan suhu sangat dingin), radang paru-paru ataupun radang otak.
Setiap anggota team kami membawa 2 tabung oksigen berwarna orange yang masing-masing berbobot sekitar 3.5 kg.
Tabung ketiga disimpan di Puncak Selatan untuk perjalanan turun, disiapkan di sana oleh para Sherpa. Dalam kondisi normal, oksigen dialirkan dengan kecepatan 2 liter per-menit, sehingga setiap tabung akan bertahan antara 5 hingga 6 jam.
Sekitar jam 4 atau 5 sore, atau sekitar 18 jam setelah mulai mendaki, jatah gas semua pendaki akan habis. Hall memahami hal ini dengan baik.
Tali Pengaman
Di musim pendakian tahun itu, belum ada seorang pendakipun yang berhasil mencapai puncak, berarti belum ada tali pengaman yang terpasang di bagian atas Punggungan Tenggara, bagian yang paling terbuka dari jalur pendakian.
Untuk mengatasi masalah ini, saat pertemuan di base camp Hall dan Fischer sudah sepakat untuk di hari 'summit push' meminta 2 Sirdar mereka, Ang Dorje dari team Hall dan Lobsang dari team Fischer, meninggalkan pos-4 sembilan puluh menit lebih awal dari rombongan pendaki dan memasang tali pengaman sebelum klien mencapai bagian jalur terbuka itu.
"Rob menjelaskan betapa pentingnya memasang tali pengaman sebelum klien sampai di sana", kenang Beidleman. "Dia ingin menghindari terjadinya penumpukan pendaki di jalur berbahaya itu", ujarnya lagi.
Entah kenapa, para Sherpa ternyata tidak berangkat mendahului kami pada malam 9 Mei. Ketika Ang Dorje dan saya mencapai 'The Balcony', kami berada satu jam di depan kelompok pendaki lain.
Sebenarnya bisa saja sementara menunggu, Ang dan saya memasang tali pengaman. Tapi sebelumnya Hall secara eksplisit meminta saya, sebagai klien, untuk menunggu di 'The Balcony', sedangkan Lobsang masih jauh di bawah, membantu Pittman dengan 'short rope'. Tidak ada yang bisa membantu Ang Dorje untuk memasang tali pengaman.
Ang Dorje adalah seorang pemuda pendiam. Dia menilai Lobsang sebagai seorang yang mata duitan dan suka pamer. Dalam 6 minggu terakhir ini, Ang Dorje telah bekerja keras melebihi porsi tugasnya.
Sekarang dia merasa jengkel karena telah melakukan pekerjaan lebih dari yang seharusnya. Jika Lobsang tidak membantu memasang tali pengaman, dia-pun tidak akan melakukannya. Tampak cemberut, Ang Dorje duduk bersama saya menunggu.
Kemacetan Di Gunung
Tidak lama kemudian kelompok pendaki sampai di tempat kami menunggu. Dan benar, sesaat setelah melanjutkan pendakian, penumpukan pendaki yang menyebabkan kemacetan terjadi ketika kami harus melewati tanjakan terjal berupa bongkahan bebatuan raksasa di ketinggian 8,534 meter.
Klien berkerumun didasar tanjakan selama hampir satu jam, sementara Beidleman - sendirian karena Lobsang belum sampai - susah payah bekerja keras memasang tali pengaman.
Disini, ketidak sabaran dan minimnya pengalaman teknis Namba hampir menyebabkan bencana.
Namba, seorang pengusaha yang suka bercanda dengan mengatakan bahwa suaminya yang melakukan semua tugas memasak dan bersih-bersih, menjadi terkenal di Jepang karena ambisinya untuk menjadi wanita Jepang kedua yang berhasil menaklukan 'The Seven Summits'.
Pendakiannya ke Everest ini merupakan puncak ke-tujuh atau terakhirnya untuk 'The Seven Summits', menyebabkan dia menjadi tidak sabar untuk segera sampai puncak.
Biasanya dia adalah pendaki yang lamban dan serba ragu, tapi hari ini, dengan puncak sudah terlihat di depan mata, dia menjadi terlalu bersemangat.
Dia sudah bekerja keras sepanjang malam hingga pagi itu, selalu berusaha untuk berada di bagian depan dari kelompok pendaki.
Sekarang, saat Beidleman masih merayap di bebatuan sekitar 30 meter di atasnya, Namba yang sudah tidak sabar langsung saja menjepitkan 'ascender' nya ke tali yang menjuntai sebelum Beidleman menambatkan ujung atasnya.
Ini sama seperti dia akan menumpukan seluruh berat badannya pada tali, yang akan menarik Beidleman jatuh. Untung secara refleks Mike Groom meraihnya dan mengingatkan untuk selalu ekstra hati-hati.
Makin lama antrian makin bertambah panjang, demikian pula waktu yang tertunda. Pada jam 11:30 siang, 3 dari klien Hall - Hutchison, Taske, dan Kasischke - mulai khawatir dengan banyaknya waktu yang terbuang.
Klien Hall Mulai Balik Arah
Terjebak di belakang team Taiwan yang lamban, Hutchison kemudian mengatakan, "Tampaknya semakin tidak mungkin bahwa kita akan mencapai puncak sebelum jam satu siang, waktu yang ditentukan Rob sebagai 'turn around time'".
Setelah diskusi singkat, mereka akhirnya memutuskan untuk melupakan puncak. Kemudian, dengan ditemani 2 orang Sherpa, Lhakpa Chirri dan Kami, mereka kembali turun.
Sebelumnya, Fischbeck, salah satu klien terkuat Hall, juga telah berbalik. Keputusan itu pasti sangat sulit untuk mereka, terutama Fischbeck, karena ini merupakan upaya keempat-nya di Everest.
Mereka masing-masing telah membayar 65,000 dolar untuk bisa berada di atas sana dan telah mengalami minggu-mingu yang penuh penderitaan.
Semangat besar mereka-lah yang selama itu mendorong mereka untuk tetap bertahan. Namun, dihadapkan dengan keputusan yang sulit, mereka adalah termasuk dari beberapa pendaki yang hari itu telah membuat keputusan bagus.
Kemacetan kedua terjadi lagi setelah beberapa saat, bahkan lebih buruk dari yang pertama. Kali ini terjadi di Puncak Selatan. Hillary Step hanya tinggal berjarak sepelemparan batu, dan sedikit sesudahnya adalah puncak.
Agak jengkel dan kelelahan, saya kemudian duduk menunggu bersama Harris, Beidleman dan Boukreev sambil mengambil beberapa photo. Sementara para Sherpa memasang tali pengaman di sepanjang tebing curam di igir punggungan itu.
Angin kencang menyapu punggungan bukit, meniupkan titik-titik salju ke arah Tibet, tapi di atas,langit terlihat sangat cerah, sangat biru.
Duduk di bawah sinar matahari di ketinggian 8,747 meter dengan pakaian pendaki yang tebal berlapis-lapis, saya menatap lautan puncak-puncak gunung Himalaya dengan mata setengah terpejam karena hipoksia, saya benar-benar lupa waktu.
Ang Dorje dan Awang Norbu juga duduk santai di sebelah saya sambil minum teh yang dituang dari termos, mereka juga tidak kelihatan terburu-buru.
Sekitar tengah hari, Beidleman akhirnya berteriak : "Hei Ang Dorje, kamu mau memasang tali pengaman atau tidak ?". Dengan cepat dan tegas, Ang Dorje menjawab "Tidak!".
Mungkin karena Lobsang atau Sherpa lainnya dari team Fischer tidak ada yang membantu, maka Ang Dorje juga menolak untuk membantu.
Dengan terpaksa, Beidleman, Boukreev, Harris, dan saya segera mengumpulkan semua tali yang tersisa, kemudian Beidleman dan Boukreev mulai memasang rangkaian tali pengaman sepanjang bagian paling berbahaya dari punggungan puncak. Kemacetan ini menyebabkan lebih dari satu jam waktu terbuang.
Dengan bantuan oksigen, tidak otomatis membuat aktifitas kita di ketinggian ekstrim menjadi terasa seperti di permukaan laut.
Mendaki di atas Puncak Selatan dengan regulator mengalirkan 2 liter oksigen per menit, setiap ayunan langkah tetap terasa berat. Saya masih tetap harus berhenti untuk menarik napas setiap 3 atau 4 langkah.
Sistem yang dipakai adalah dengan mengalirkan campuran oksigen yang dimampatkan dengan udara biasa, yang membuat aktifitas di 8,800 meter hanya terasa seperti di 7,900 meter, bukan seperti di permukaan laut.
Namun, manfaat lain yang jauh lebih penting adalah untuk menghindari hipotermia, 'frostbite' dan serangan penyakit gunung lain yang lebih mematikan seperti radang paru dan radang otak.
Next : Puncak Everest
** Terjemahan bebas dari 'Into Thin Air' karya Jon Krakauer
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI