“Bukan itu. Ini tentang dirimu yang melayang-layang di udara tadi.”
Laya tertawa cekikikan. Suaranya mendominasi ruangan.
“Kamu ini masih seperti dulu. Senang berkhayal,” jawab Laya seenaknya.
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Itu dirimu,” bela Agyas. Lelaki dekil melihat garis melingkar di sekeliling leher wanita pujaannya itu. Sembilan belas tahun lalu, mereka memadu kisah. Adat yang memisahkan mereka. Ayahnya tidak merestui hubungan itu terjadi. Beragam alasan klise diungkapkan. Babat bibit bebet bobot selalu jadi kendala.
“Kamu pasti sedang mabuk,” sahut wanita bertubuh langsing itu tegas.
“Lalu, garis apa yang melingkari lehermu saat ini ?”
Laya secepat kilat menutupi lehernya dengan kerah baju. Wajahnya terkejut. Agyas bisa melihat itu. Dia bisa merasakan kekagetan wanita impiannya dulu.
“Lepaskan ilmu hitam itu, Laya. Itu tidak dibenarkan agama. Aku tahu, aku salah. Tidak semestinya kamu melukai dirimu seperti ini. Biarlah kecantikanmu menghiasi wajahmu, tanpa campur tangan mahluk mengerikan itu,” jelas lelaki dekil itu.
“Mohon maaf. Ini sudah larut malam. Tidak baik dilihat tetangga. Apa pendapat mereka jika melihatmu di sini,” potong Laya kemudian.
Lelaki bertubuh gempal itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia pamit sambil menoleh sesaat ke arah remaja tampan di depan sebuah pintu kamar. Mereka saling melempar senyum. Sebuah pertemuan singkat. Sebuah perpisahan panjang memaksa mereka melewati takdir.
Agyas meninggalkan rumah berpagar hitam itu. Dia berjalan melintasi persimpangan jalan. Harry tergopoh-gopoh mengejar lelaki dekil itu. Malam telah melarutkan kegelapan.