Kita sering mendengar jargon "Indonesia harus jadi bangsa literat". Namun, siapa yang benar-benar menjadi penjaga gerbang literasi di sekolah-sekolah dan taman baca? Ya, pustakawan.
Mereka bukan sekadar petugas pinjam-kembali buku. Mereka adalah fasilitator pengetahuan, motivator siswa untuk membaca, bahkan pendamping belajar.
Tapi apa balasannya? Gaji rendah, karier buntu, dan kebijakan yang sering tak berpihak.
Refleksi: Mengapa Mereka Tidak Pernah Jadi Prioritas?
Mari kita bertanya dengan jujur: mengapa dalam diskusi tentang pendidikan, yang selalu disebut adalah guru, kurikulum, dan sarana fisik, tetapi jarang sekali pustakawan?
Padahal, tanpa pustakawan, perpustakaan hanya jadi gudang buku. Tanpa pustakawan, program literasi hanyalah slogan kosong. Tanpa pustakawan, semangat membaca generasi muda tak akan pernah menemukan pemandunya.
Mungkinkah karena pekerjaan mereka dianggap "tidak produktif"? Atau karena keberadaan pustakawan memang tidak masuk dalam "politik pendidikan" yang lebih sibuk pada hal-hal besar, seperti ujian nasional, kurikulum baru, atau gedung sekolah megah?
Jalan Keluar: Dari Regulasi ke Kesadaran Publik
Apa yang bisa dilakukan? Setidaknya ada tiga hal mendesak:
1. Perbaikan Regulasi
Pemerintah perlu membuat aturan yang jelas: pustakawan profesional harus diakui setara dengan tenaga pendidik lain. Kesempatan mendaftar P3K harus dibuka, sertifikasi harus disertai tunjangan, dan aturan 5% anggaran perpustakaan harus ditegakkan.
2. Peningkatan Kapasitas
Pelatihan tidak boleh hanya jadi hak segelintir. Kuota harus diperbanyak, akses harus dipermudah, terutama bagi pustakawan di daerah.