Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pustakawan Sunyi: Antara Dedikasi, Gaji Rendah, dan Regulasi

16 September 2025   08:43 Diperbarui: 16 September 2025   21:45 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Gambar Kompas.id

Di balik deretan rak buku yang rapi, ada sosok-sosok yang hampir tak pernah muncul di sorotan publik. Mereka bukan headline berita, bukan pula bintang utama di panggung pendidikan. Mereka adalah pustakawan---pekerja sunyi yang memastikan buku-buku bisa diakses, katalog rapi, dan literasi berjalan.

Namun, realitas hidup mereka sering kali lebih getir dari aroma buku tua yang menguning. Gaji rendah, minim perhatian, regulasi timpang, hingga stigma "hanya duduk-duduk" membuat profesi ini kerap dipandang sebelah mata.

Pertanyaannya: apakah kita bisa membayangkan sekolah tanpa pustakawan?

Potret Iwan: Menjaga Literasi dengan Gaji Tak Seberapa


Iwan (26), pustakawan di sebuah SMP swasta di Lampung, memulai rutinitas sejak pukul 06.45 hingga 15.30. Dari merapikan rak, mendata inventaris, hingga melayani siswa yang butuh referensi. Semua ia lakukan dengan telaten.

Namun, gaji bulanannya tak sampai Rp1 juta. Ya, benar: kurang dari harga ponsel entry-level terbaru. Untuk bertahan hidup, ia menambal kekurangan dengan bekerja sampingan, dari jasa ketik hingga menjadi moderator acara lingkungan rumah.

Ironisnya, meski sudah enam tahun mengabdi, perpustakaan tempatnya bekerja tak pernah mendapat bantuan buku. Bahkan, kesempatan mengikuti pelatihan dari Perpustakaan Nasional pun selalu kandas karena kuota habis.

Bukankah ini potret paradoks? Seorang yang setiap hari berhadapan dengan buku, justru kesulitan mendapatkan akses pengembangan diri.

Nanda: Bertahan dengan UMR, Tapi Tanpa Jenjang Karier

Sumber: Gambar Kompas.id
Sumber: Gambar Kompas.id

Sedikit lebih beruntung, Nanda Dwi Pratama (29) di Palembang mendapat gaji Rp3,9 juta sesuai UMR. Tapi pekerjaannya nyaris tak berhenti seharian. Dari pagi hingga sore ia mendata buku, melayani murid, dan menjaga suasana nyaman di perpustakaan.

Meski begitu, ada ironi lain: tidak ada jenjang karier bagi pustakawan sekolah. Tak ada jalur kepangkatan jelas. Beberapa rekannya akhirnya banting setir menjadi guru karena peluang penghasilan dan karier lebih pasti.

Di sini, kita kembali bertanya: apakah profesi pustakawan memang ditakdirkan hanya jadi "tambahan" di dunia pendidikan?

Novita: Balas Dendam Lewat Literasi

Sumber: Gambar Kompas.id
Sumber: Gambar Kompas.id

Lain lagi kisah Irene Novita Rianghepat (34) di Sorong. Lulusan SD yang pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga ini, kini menjadi relawan taman baca Pinjam Pustaka. Baginya, tugas ini adalah misi "balas dendam"---agar anak-anak tak lagi buta huruf seperti dirinya dulu.

Honornya hanya Rp700.000 per bulan, bahkan sebagian ditutup oleh kantong pribadi pengelola taman baca. Untuk mencukupi kebutuhan, ia tetap bekerja sebagai ART dan berjualan pisang ijo.

Namun, dari tangannya lahir anak-anak yang kembali berani membuka buku. Bukankah ini ironi terbesar? Orang dengan latar pendidikan paling sederhana justru berjuang paling keras menjaga api literasi di tengah gelapnya perhatian negara.

Data Bicara: Pustakawan di Persimpangan

Survei daring Harian Kompas (20--29 Agustus 2025) terhadap 616 responden menunjukkan:

  • 37,8% pustakawan mengaku gajinya tidak mencukupi.
  • Di kelompok bergaji di bawah Rp1 juta, 78,69% kesulitan menutup kebutuhan bulanan.
  • Bahkan, mereka yang bergaji Rp1--2 juta pun masih sulit memenuhi kebutuhan dasar.

Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah alarm keras bahwa ada profesi vital dalam ekosistem pendidikan yang sedang diabaikan.

Regulasi: Ada di Atas Kertas, Mati di Lapangan

Menurut Ketua ATPUSI, Rachmawati, persoalan pustakawan bukan sekadar gaji rendah. Akar masalahnya ada pada implementasi regulasi yang timpang.

Contoh: guru bisa merangkap sebagai kepala perpustakaan dengan tunjangan sertifikasi, setara 12 jam mengajar. Namun, kenyataannya, banyak guru "kepala perpustakaan" jarang hadir di ruang baca. Pustakawan sejati yang bekerja penuh malah tidak mendapat tunjangan.

Selain itu, ada aturan wajib 5% anggaran sekolah untuk perpustakaan. Tapi di banyak sekolah, aturan ini hanya jadi teks indah di dokumen, tanpa realisasi nyata.

Bukankah ini seperti membaca buku bagus yang tak pernah dibuka?

Pustakawan: Penjaga Literasi yang Terlupakan


Kita sering mendengar jargon "Indonesia harus jadi bangsa literat". Namun, siapa yang benar-benar menjadi penjaga gerbang literasi di sekolah-sekolah dan taman baca? Ya, pustakawan.

Mereka bukan sekadar petugas pinjam-kembali buku. Mereka adalah fasilitator pengetahuan, motivator siswa untuk membaca, bahkan pendamping belajar.

Tapi apa balasannya? Gaji rendah, karier buntu, dan kebijakan yang sering tak berpihak.

Refleksi: Mengapa Mereka Tidak Pernah Jadi Prioritas?

Mari kita bertanya dengan jujur: mengapa dalam diskusi tentang pendidikan, yang selalu disebut adalah guru, kurikulum, dan sarana fisik, tetapi jarang sekali pustakawan?

Padahal, tanpa pustakawan, perpustakaan hanya jadi gudang buku. Tanpa pustakawan, program literasi hanyalah slogan kosong. Tanpa pustakawan, semangat membaca generasi muda tak akan pernah menemukan pemandunya.

Mungkinkah karena pekerjaan mereka dianggap "tidak produktif"? Atau karena keberadaan pustakawan memang tidak masuk dalam "politik pendidikan" yang lebih sibuk pada hal-hal besar, seperti ujian nasional, kurikulum baru, atau gedung sekolah megah?

Jalan Keluar: Dari Regulasi ke Kesadaran Publik

Apa yang bisa dilakukan? Setidaknya ada tiga hal mendesak:

1. Perbaikan Regulasi

Pemerintah perlu membuat aturan yang jelas: pustakawan profesional harus diakui setara dengan tenaga pendidik lain. Kesempatan mendaftar P3K harus dibuka, sertifikasi harus disertai tunjangan, dan aturan 5% anggaran perpustakaan harus ditegakkan.

2. Peningkatan Kapasitas

Pelatihan tidak boleh hanya jadi hak segelintir. Kuota harus diperbanyak, akses harus dipermudah, terutama bagi pustakawan di daerah.

3. Kampanye Kesadaran Publik

Literasi bukan hanya soal membaca buku, tapi juga menghargai siapa yang menjaga buku. Masyarakat, sekolah, dan orang tua perlu melihat pustakawan sebagai mitra penting, bukan sekadar "penunggu rak".

Penutup: Sunyi yang Tak Boleh Dibiarkan

Pustakawan adalah pekerja sunyi yang sering tak disebut dalam narasi besar pendidikan. Namun, justru dari kesunyian merekalah lahir denyut literasi bangsa.

Ketika seorang murid menemukan buku yang tepat, ada pustakawan di balik itu. Ketika sebuah perpustakaan rapi dan nyaman, ada pustakawan yang menjaga. Ketika sebuah taman baca hidup kembali, ada pustakawan atau relawan yang berjuang tanpa pamrih.

Kini, pertanyaan paling penting: apakah kita rela membiarkan mereka terus berjuang di sudut sunyi?

Jika literasi benar-benar masa depan bangsa, maka saatnya pustakawan tak lagi diperlakukan sebagai bayangan. Mereka layak mendapat perhatian, penghargaan, dan penghidupan yang lebih baik.

Artikel ini ditulis ala penulis penuh tanya---karena dari pertanyaan-pertanyaan kecil, kita bisa menggugat sistem besar yang sering lupa pada detail paling menentukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun