Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Financial

Rumah Subsidi yang Bikin Bingung: Murah Tapi Kok Jauh?

18 Juli 2025   09:32 Diperbarui: 18 Juli 2025   09:32 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mampu beli rumah subsidi, tapi jaraknya bikin mikir dua kali./Ilustrasi Gambar dihasilkan dengan bantuan AI. Jumat, (18/7/2025).

"Punya rumah itu impian. Tapi kalau letaknya sejauh LDR Jakarta-Bogor tanpa kereta, mimpi bisa berubah jadi drama."

-- Penulis Penuh Tanya

Impian Bernama Rumah Sendiri

Bagi banyak keluarga muda di Indonesia, terutama dari kalangan pekerja formal dengan penghasilan pas-pasan, rumah subsidi adalah satu-satunya pintu yang terasa realistis untuk menembus gerbang "rumah milik sendiri." Skema ini lahir dari semangat mulia: memberi kesempatan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki tempat tinggal yang layak dengan harga terjangkau. Tapi di balik embel-embel "terjangkau" itu, muncul pertanyaan mendasar: terjangkau bagi siapa, dan di mana?

Masalahnya, rumah subsidi memang murah... tapi lokasinya sering bikin alis naik. Jauh dari pusat kota, jauh dari tempat kerja, bahkan jauh dari fasilitas publik dasar. Ibarat beli tiket konser murah, tapi tempat duduknya di balik tiang. Kedengarannya bisa ditoleransi, sampai kamu sadar setiap pagi kamu harus berangkat jam 4 subuh agar nggak telat kerja.

Harga vs Lokasi: Dilema Klasik Warga Urban

Skema rumah subsidi dari pemerintah (misalnya melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan/FLPP) menawarkan cicilan ringan dan DP rendah. Tahun 2025, harga rumah subsidi di Pulau Jawa (kecuali Jabodetabek) maksimal hanya sekitar Rp 162 juta. Di atas kertas, ini kabar baik. Tapi ketika dicari di lapangan, rumah dengan harga itu ternyata berlokasi 30--40 km dari pusat kota, kadang tanpa akses transportasi umum yang layak.

Bagi pekerja kantoran di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan, membeli rumah subsidi sering berarti memilih antara hemat atau hemat waktu (dan energi). Dilema ini bikin banyak calon pembeli berpikir ulang: apakah benar rumah subsidi itu "terjangkau," atau hanya terlihat murah di brosur?

Transportasi dan Akses: Masalah yang Tak Pernah Selesai

Coba tanya pada penghuni perumahan subsidi di daerah pinggiran. Banyak dari mereka yang harus menempuh waktu perjalanan dua hingga tiga jam untuk sampai ke tempat kerja. Bahkan tak jarang, ongkos transportasi bulanan mereka justru lebih besar dari cicilan rumah itu sendiri.

Ironisnya, sebagian besar rumah subsidi tidak terkoneksi dengan baik ke jaringan transportasi publik. Tak ada angkot, tak ada stasiun, ojek online pun enggan masuk karena jalannya sempit dan rusak. Kalau listrik dan air bersih juga belum stabil, maka rasa "memiliki rumah" tak lagi manis, tapi seperti dikasih puzzle tanpa petunjuk.

Perumahan atau Pengungsian Berkedok Subsidi?

Kritik tajam juga datang dari pengamat tata kota. Mereka menyebut banyak perumahan subsidi dibangun secara serampangan di lokasi-lokasi yang belum siap huni. Infrastruktur sosial dan ekonomi nyaris tak ada---tak ada sekolah, tak ada puskesmas, minim tempat ibadah, dan pusat belanja pun harus naik ojek 10 menit dulu. Ini seperti memaksa orang pindah ke tempat yang belum layak disebut "kawasan permukiman."

Akibatnya, banyak rumah subsidi justru kosong tak berpenghuni. Ada yang akhirnya dikontrakkan ke orang lain, ada juga yang dijual kembali (meski secara hukum tidak boleh dijual selama lima tahun pertama). Ini jadi lingkaran setan: rumah subsidi dibangun, tapi tak ditinggali. Pemerintah merasa programnya jalan, padahal tak menyentuh kebutuhan sebenarnya masyarakat.

Mengapa Lokasinya Harus Jauh?

Pertanyaan logis: kenapa rumah subsidi tak dibangun lebih dekat ke kota? Jawabannya cukup rumit.

Pertama, harga tanah. Di wilayah perkotaan, harga tanah sudah melambung tinggi dan tak mungkin bisa masuk ke skema rumah subsidi yang dibatasi harga maksimal. Kedua, pengembang cenderung mencari lahan murah agar margin tetap masuk akal, karena keuntungan mereka dari proyek subsidi juga terbatas.

Ketiga, tata ruang dan perizinan masih penuh tantangan. Lahan strategis di kota sering kali sudah dikunci untuk kepentingan lain, atau terhalang regulasi rumit yang membuat pengembang enggan bersusah payah. Alhasil, daerah-daerah pinggiran seperti Cikarang, Bogor timur, atau Serang menjadi pilihan "logis"---meski tak logis secara sosial.

Potret dari Lapangan: "Pindah Rumah, Tapi Seperti Pindah Planet"

Banyak cerita menyedihkan dari pembeli rumah subsidi. Seorang guru honorer di Tangerang misalnya, mengaku harus menempuh 3 jam perjalanan karena rumah subsidi yang ia beli terletak di Lebak. "Saya berangkat jam 4.30 pagi, sampai rumah jam 9 malam. Anak-anak saya hampir selalu tidur ketika saya tiba. Saya punya rumah, tapi kehilangan waktu sebagai orang tua."

Contoh lain dari Surabaya. Seorang pegawai administrasi membeli rumah subsidi di Mojokerto. Murah memang, tapi tiap bulan ia harus merogoh kocek Rp 1 juta hanya untuk ongkos PP naik motor dan bensin. "Murah jadi mahal, kalau dihitung ongkosnya," keluhnya.

Perlukah Revisi Kebijakan Rumah Subsidi?

Tentu. Beberapa gagasan bisa dipertimbangkan agar program rumah subsidi benar-benar menyasar kebutuhan rakyat:

1. Dekatkan ke Akses Transportasi: Tak harus dekat pusat kota, tapi minimal terhubung ke jaringan commuter line atau terminal besar.

2. Perluas Skema Subsidi Sewa: Tak semua orang harus langsung punya rumah. Subsidi sewa di lokasi strategis bisa jadi solusi sementara yang lebih realistis.

3. Kembangkan Rusun Vertikal di Perkotaan: Dengan memanfaatkan lahan vertikal, pemerintah bisa menghadirkan hunian murah tanpa mengusir warganya keluar kota.

4. Libatkan Pemda secara Aktif: Pemerintah daerah harus jadi motor penyediaan lahan strategis bagi perumahan rakyat, bukan hanya pengawas.

5. Integrasi Infrastruktur Dasar: Pembangunan rumah harus sepaket dengan akses jalan, air bersih, listrik, sekolah, dan layanan kesehatan.

Apa Kata Gen Z dan Milenial?

Bagi generasi yang tumbuh di era digital dan penuh mobilitas, rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi juga bagian dari gaya hidup. Rumah subsidi yang jauh dari pusat kegiatan sosial dan ekonomi sering dianggap tidak relevan.

Mereka lebih memilih menyewa apartemen kecil di tengah kota, walau mahal, asalkan dekat kantor dan bisa delivery makanan dalam 15 menit. Jadi ketika tawaran rumah subsidi datang tapi "berasa seperti pindah ke Mars", mereka angkat bahu.

Penutup: Murah Saja Tak Cukup

Rumah subsidi sejatinya adalah program mulia. Tapi kemuliaannya bisa luntur jika tak dibarengi pendekatan yang humanis dan berorientasi pada kenyamanan hidup warga. Murah itu penting, tapi lokasi dan kualitas hidup juga tak kalah penting.

Pemerintah dan pengembang harus sadar: rakyat tak hanya butuh "rumah," tapi juga "kehidupan" di dalamnya. Kalau harga terjangkau tapi letaknya tak masuk akal, rumah bisa jadi beban baru, bukan solusi.

Palembang, 18 Juli 2025

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

- Harmoko - Penulis Penuh Tanya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun