"Rumah adalah tempat hati pulang. Tapi kalau pulangnya butuh dua jam dan dua kali ojek, itu namanya pelarian, bukan kenyamanan."
Program rumah subsidi seharusnya menjadi solusi untuk keluarga berpenghasilan rendah agar punya hunian layak. Tapi mari jujur saja: banyak rumah subsidi di Indonesia lebih mirip zona eksil ketimbang tempat tinggal ideal. Jauh dari kota, kualitas bangunan tipis-tipis, dan akses ke fasilitas publik nyaris nihil. Kok rasanya kayak program "survivor", bukan perumahan?
Lokasi: Antara "Pinggiran" dan "Pelosok"
Mayoritas rumah subsidi dibangun di lahan yang murah---itu artinya jauh dari pusat kota dan fasilitas publik. Sekolah? Minimal 5 km. Puskesmas? Sering hanya bisa dicapai pakai kendaraan pribadi. Transportasi umum? Mungkin baru lewat kalau ada tim pencari jejak KKN.
Warga jadi harus commute jauh, habiskan waktu dan uang lebih banyak. Ironis, padahal rumah subsidi ini dirancang untuk membantu meringankan beban. Nyatanya, malah nambah beban mental dan logistik.
Kualitas: Rumah Tapi Rapuh
"Baru tiga bulan dihuni, dinding sudah retak. Hujan dikit, atap bocor."
Begitu curhat seorang penghuni rumah subsidi di Cibitung yang rumahnya seolah-olah dibangun dari sisa niat baik. Pihak pengembang berdalih sudah sesuai standar teknis. Tapi pertanyaannya: standar siapa?
Kalau rumah yang dibangun tidak tahan cuaca, bagaimana bisa disebut layak huni?
Akses: Jalan Rusak, Cahaya Minim, Sinyal Hilang