Negosiasi bukan sekadar soal tawar-menawar kepentingan. Di dalamnya tersimpan sejarah luka, rasa curiga, harga diri nasional, dan mimpi besar tentang martabat bangsa. Dan itulah yang tampaknya luput dari pendekatan Amerika Serikat terhadap Iran hari ini.
---
Antara Insentif dan Ketegangan
Amerika Serikat, lewat serangkaian tawaran menggiurkan---dari pembebasan aset Iran hingga rekonstruksi fasilitas nuklir sipil yang dibiayai oleh negara sekutu---kembali mencoba membuka jalur negosiasi dengan Iran terkait program nuklirnya. Tapi hasilnya nihil. Pintu itu tetap tertutup. Bahkan terkunci rapat.
Mengapa tawaran bernilai miliaran dolar itu gagal meyakinkan Iran?
Sebagian mungkin akan menjawab: karena Iran keras kepala. Tapi pandangan semacam itu terlalu simplistik, nyaris naif. Di balik penolakan Iran, ada latar belakang historis, dinamika geopolitik yang kompleks, dan---yang paling penting---rasa tidak percaya yang begitu dalam terhadap Amerika Serikat.
---
Luka Lama, Kesepakatan yang Gagal
Kita perlu menengok ke belakang, ke tahun 2015, ketika kesepakatan nuklir JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) disepakati antara Iran dan kekuatan dunia, termasuk AS. Dunia sempat bernafas lega. Iran setuju membatasi program nuklirnya dan membuka diri pada inspeksi internasional.
Namun, mimpi itu kandas ketika pemerintahan Donald Trump secara sepihak menarik AS keluar dari kesepakatan pada 2018. Tak hanya itu, sanksi ekonomi diberlakukan kembali, bahkan diperluas.
Bagi Iran, ini bukan hanya penghinaan, tapi juga pelajaran pahit: bahwa janji Amerika bisa dicabut kapan saja. Maka ketika kini AS datang dengan karung insentif, Iran bukan tidak tergoda. Mereka hanya lebih berhati-hati. Sekali tertipu, mungkin salah Amerika. Tapi dua kali? Itu bisa jadi salah mereka sendiri.
---
Serangan Militer: Negosiasi atau Ancaman?
Situasi makin rumit ketika Amerika melancarkan serangan militer ke tiga situs nuklir Iran pada 22 Juni 2025, termasuk Fordo---fasilitas nuklir bawah tanah yang dulunya merupakan simbol kebanggaan teknologi nuklir Iran. Serangan ini, meski diklaim sebagai pencegahan, justru memperkuat narasi Iran bahwa AS tak pernah tulus ingin berdialog.
Bayangkan posisi Iran: di satu sisi, mereka ditawari insentif. Di sisi lain, diserang. Ini seperti orang yang mengetuk pintu rumahmu sambil membawa sekotak hadiah---namun dengan tangan satunya menggenggam pentungan.
Dalam budaya Timur Tengah, penghormatan terhadap martabat nasional sering lebih penting daripada keuntungan ekonomi. Iran bukan hanya berpikir dalam kerangka untung-rugi pragmatis. Mereka juga berpikir tentang harga diri, posisi di dunia Islam, dan narasi kebangkitan dari dominasi Barat.
---
Refleksi: Diplomasi Bukan Transaksi
Amerika mungkin benar dalam perhitungan ekonominya. Mereka menghitung bahwa dengan menawarkan paket bantuan US$20--30 miliar, Iran akan luluh. Mereka membayangkan bahwa negara dengan ekonomi yang tertekan akan tergiur oleh janji manis. Tapi pendekatan ini terlalu ekonomistik, bahkan cenderung dangkal.
Diplomasi tidak bekerja seperti pasar swalayan. Ini bukan diskon akhir pekan. Negara bukan konsumen yang bisa dibujuk dengan cashback dan bonus poin. Dalam relasi diplomatik, faktor psikologis, historis, dan simbolik jauh lebih menentukan.
Iran tidak sedang bermain poker. Mereka sedang mempertaruhkan martabat dan eksistensinya sebagai bangsa yang berdaulat.
---
Iran dan Mimpi Nuklir: Ancaman atau Simbol?
Banyak yang melihat program nuklir Iran sebagai ancaman terhadap stabilitas kawasan. Tapi dari sudut pandang dalam negeri Iran, proyek nuklir justru dilihat sebagai simbol kemajuan teknologi, kemandirian, dan kekuatan nasional.
Dengan memiliki program nuklir (meski diklaim untuk tujuan sipil), Iran ingin menyampaikan pesan: "Kami bukan lagi negeri dunia ketiga yang bergantung pada Barat." Maka permintaan agar Iran membatalkan pengayaan uranium---dan hanya diizinkan mengimpor bahan baku seperti model Uni Emirat Arab---bisa dianggap sebagai upaya merendahkan status mereka.
Apalagi jika diiringi tekanan militer. Maka tak heran jika pemerintah Iran---di tengah tekanan dalam negeri dan dominasi kelompok garis keras---memilih untuk menutup pintu negosiasi, setidaknya untuk sekarang.
---
Dimensi Regional: Iran Tak Ingin Diktat Teluk
Paket insentif AS disebut akan didanai oleh negara-negara Teluk yang notabene adalah rival regional Iran---seperti Arab Saudi dan UEA. Ini pun menjadi faktor penting. Iran bisa saja berpikir: "Mengapa kami harus tunduk pada syarat dari negara-negara yang sejak lama ingin mengebiri pengaruh kami di Timur Tengah?"
Dalam kaca mata politik domestik Iran, menerima bantuan dari koalisi negara-negara Teluk akan dipersepsikan sebagai kelemahan. Itu akan menjadi amunisi empuk bagi lawan-lawan politik di dalam negeri, yang selama ini menuding pemerintah terlalu lunak terhadap Barat.
Alih-alih mencairkan situasi, pendekatan ini justru bisa memicu konsolidasi kelompok garis keras di Iran.
---
Dinding Ketidakpercayaan yang Terlalu Tebal
Inti dari kebuntuan ini adalah ketidakpercayaan yang begitu dalam antara kedua pihak.
Amerika, di bawah pemerintahan mana pun, tampaknya masih melihat Iran sebagai ancaman ideologis yang tak bisa dijinakkan. Sementara Iran memandang Amerika sebagai kekuatan imperialis yang tidak akan pernah bisa bersikap adil.
Dan sayangnya, tindakan kedua belah pihak selama dua dekade terakhir memperkuat narasi masing-masing. Kesepakatan yang dicapai pun gagal karena kurangnya fondasi kepercayaan yang solid.
---
Apa yang Bisa Dilakukan?
Apakah situasi ini buntu total? Tidak juga.
Tapi jalan keluar memerlukan pendekatan yang lebih reflektif dan empatik. Amerika harus mulai memahami bahwa pendekatan transaksional tidak akan berhasil jika tidak disertai pengakuan atas martabat dan kepentingan jangka panjang Iran. Insentif ekonomi harus dibarengi dengan komitmen jangka panjang yang kredibel---misalnya, jaminan multilateralisme, keterlibatan Eropa, atau pengawasan independen.
Sementara itu, Iran juga perlu menyadari bahwa konfrontasi abadi akan merugikan rakyatnya. Penolakan total terhadap dialog hanya akan mengisolasi diri lebih jauh, dan memperparah krisis ekonomi yang kini sudah menggerogoti fondasi sosial mereka.
---
Dunia di Persimpangan
Di tengah ketegangan global yang meningkat, konflik AS--Iran hanyalah satu simpul dari benang kusut yang lebih besar. Tapi simpul ini penting. Jika ditangani dengan salah, bisa membakar kawasan. Jika ditangani dengan bijak, bisa menjadi titik tolak baru menuju tatanan diplomatik yang lebih inklusif.
Kita butuh pendekatan baru: bukan hanya sekadar negosiasi politik, tapi rekonsiliasi psikologis. Dunia tak bisa terus menunggu siapa yang menang duluan. Sebab dalam konflik semacam ini, sering kali yang kalah adalah mereka yang tak pernah duduk di meja perundingan---yakni rakyat sipil, anak-anak, dan masa depan.
---
Penutup: Diplomasi Adalah Seni Mendengarkan
Amerika boleh punya bom, dana, dan diplomasi tingkat tinggi. Tapi tanpa seni mendengarkan, semua itu akan sia-sia. Begitu pula Iran, dengan semangat kedaulatan dan perlawanan yang membara---jika tak membuka ruang untuk kompromi, akan terus menghadapi sanksi, isolasi, dan stagnasi.
Diplomasi sejati dimulai saat dua pihak berhenti bicara hanya untuk didengar, tapi mulai mendengar untuk mengerti.
Dan mungkin, itu yang belum terjadi antara Amerika dan Iran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI