Di tengah ketegangan global yang meningkat, konflik AS--Iran hanyalah satu simpul dari benang kusut yang lebih besar. Tapi simpul ini penting. Jika ditangani dengan salah, bisa membakar kawasan. Jika ditangani dengan bijak, bisa menjadi titik tolak baru menuju tatanan diplomatik yang lebih inklusif.
Kita butuh pendekatan baru: bukan hanya sekadar negosiasi politik, tapi rekonsiliasi psikologis. Dunia tak bisa terus menunggu siapa yang menang duluan. Sebab dalam konflik semacam ini, sering kali yang kalah adalah mereka yang tak pernah duduk di meja perundingan---yakni rakyat sipil, anak-anak, dan masa depan.
---
Penutup: Diplomasi Adalah Seni Mendengarkan
Amerika boleh punya bom, dana, dan diplomasi tingkat tinggi. Tapi tanpa seni mendengarkan, semua itu akan sia-sia. Begitu pula Iran, dengan semangat kedaulatan dan perlawanan yang membara---jika tak membuka ruang untuk kompromi, akan terus menghadapi sanksi, isolasi, dan stagnasi.
Diplomasi sejati dimulai saat dua pihak berhenti bicara hanya untuk didengar, tapi mulai mendengar untuk mengerti.
Dan mungkin, itu yang belum terjadi antara Amerika dan Iran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI