"Beli rumah sekarang atau tunggu nanti?" Pertanyaan ini seperti lagu lama yang tak kunjung usai diputar dalam kepala banyak orang, terutama generasi milenial dan Gen Z. Dengan harga rumah yang terus merangkak naik, gaji yang pas-pasan, dan biaya hidup yang makin membengkak, pertanyaan ini berubah dari sekadar dilema menjadi mimpi yang terasa semakin jauh.
Namun, justru di tengah ketidakpastian itu, muncul peluang yang tak boleh dilewatkan. Di tahun-tahun terakhir ini, berbagai sinyal positif muncul dari pasar properti. Suku bunga KPR menurun, tenor cicilan diperpanjang, dan insentif dari pemerintah pun bermunculan. Maka pertanyaannya kini bergeser: Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Menangkap Peluang di Tengah Krisis
Pandemi COVID-19 memang menghantam hampir semua sektor, termasuk properti. Banyak pengembang melambatkan pembangunan, calon pembeli menahan diri, dan transaksi menurun tajam. Namun, justru dari kejatuhan ini muncul peluang besar bagi mereka yang cermat membaca situasi.
Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan berkali-kali untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Efeknya terasa langsung pada produk KPR: bunga menjadi jauh lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sebagian bank menawarkan bunga tetap (fixed) mulai dari 3 persen---suatu angka yang beberapa tahun lalu nyaris mustahil. Belum lagi kebijakan PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang sempat diberlakukan untuk pembelian rumah baru dengan nilai tertentu.
Dalam logika ekonomi, ketika harga stagnan dan bunga rendah, itulah waktu terbaik untuk membeli aset jangka panjang seperti rumah. Seperti kata Warren Buffett: "Be fearful when others are greedy, and be greedy when others are fearful." Dalam konteks ini, ketika banyak orang takut membeli rumah, justru itu bisa menjadi waktu yang paling menguntungkan.
Cicilan Panjang: Beban atau Solusi?
Salah satu faktor yang membuat generasi muda ragu mengambil KPR adalah lamanya tenor cicilan. "Masa saya harus nyicil 25 tahun? Itu sama aja sampai anak saya masuk kuliah!" keluh seorang teman.
Namun mari kita ubah sudut pandangnya. Cicilan panjang bukan berarti beban, tetapi bisa menjadi alat bantu pernapasan keuangan. Semakin panjang tenor, semakin ringan cicilan bulanan. Ini penting terutama bagi mereka yang baru meniti karier atau merintis keluarga.
Misalnya, dengan penghasilan Rp8 juta per bulan, mengambil cicilan Rp4 juta tentu memberatkan. Tapi jika dengan tenor 25 tahun cicilan menjadi Rp2 juta, maka sisanya bisa digunakan untuk kebutuhan lain: pendidikan anak, dana darurat, atau bahkan investasi. Prinsipnya, selama proporsi cicilan tidak melebihi 30-40% dari penghasilan, maka keuangan rumah tangga masih berada di jalur aman.
Tentu, kita tidak harus terus mencicil selama 25 tahun. Jika kondisi keuangan membaik, cicilan bisa dilunasi lebih cepat. Beberapa bank bahkan tidak mengenakan penalti untuk pelunasan awal. Jadi, tenor panjang bisa dianggap sebagai "opsi fleksibel", bukan hukuman seumur hidup.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!