Di kota-kota besar, lahan makin sempit, harga tanah makin menggila, dan yang paling duluan dapat tanah... bukan rakyat jelata.Â
Siapa lagi kalau bukan para developer yang sigap pasang plang "Segera Dibangun: Hunian Eksklusif Harga Mulai dari Jutaan per Meter". Tapi rakyat biasa? Paling banter dapat nyinyiran: "Nabung dulu dong, masa minta rumah murah terus."
Artikel ini bukan sekadar curhatan, tapi ajakan untuk melihat ulang---apakah urbanisasi ini sedang diarahkan, atau dibiarkan mengalir liar?Â
Siapa sebenarnya yang berhak lebih dulu menjejak tanah di kota: rakyat yang lahir, tinggal, dan kerja di sana, atau investor yang datang bawa modal besar, lantas 'menggeser' yang sudah lama menetap?
Kota untuk Siapa?
Fenomena "kota sebagai komoditas" bukan hal baru. Lahan-lahan strategis dibeli dalam jumlah besar oleh pengembang, diubah menjadi kompleks hunian premium, mall, dan apartemen.Â
Masalahnya, proyek-proyek ini kerap tidak ditujukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, apalagi kaum jelata urban.
Pembangunan yang seharusnya merata malah makin menambah jurang antara "yang punya" dan "yang menumpang hidup".Â
Kota seperti Jakarta, Surabaya, hingga Makassar jadi ajang pertarungan: siapa yang duluan punya modal, dia yang duluan kuasai lahan.
Sementara itu, masyarakat kecil justru makin terpinggirkan---secara harfiah. Digusur, direlokasi, lalu disuruh adaptasi di pinggiran yang jauh dari fasilitas dan pekerjaan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!