Di tengah hingar-bingar dunia kerja modern yang penuh dengan angka, skor, dan algoritma, ada satu hal yang kerap terlupakan: manusia. Ya, manusia---bukan sekadar data di CV atau grafik hasil tes. Padahal, inti dari proses perekrutan adalah membangun jembatan antara individu dan organisasi. Jika jembatan itu dibangun hanya dengan beton angka, bukan dengan nilai-nilai kemanusiaan, jangan heran jika yang melintas justru hanyalah ketimpangan budaya kerja dan tingginya turnover.
Pendekatan humaniora dalam perekrutan bukanlah romantisme idealistik. Ia adalah kebutuhan strategis. Ia adalah jalan untuk menciptakan tempat kerja yang produktif, inklusif, dan berkelanjutan.
Di Balik Angka, Ada Potensi yang Tak Terukur
CV yang penuh prestasi akademik dan tes kepribadian berbasis skala Likert memang menggoda. Tapi benarkah itu cukup? Bagaimana dengan empati? Daya lenting mental? Kemampuan mendengar dengan tulus? Semua itu---yang kita sebut sebagai bagian dari kompetensi humaniora---jarang terukur, tapi justru menentukan bagaimana seseorang bekerja dalam tim, menghadapi krisis, atau memimpin dengan hati.
Mengabaikan dimensi ini sama saja seperti membeli lukisan hanya dari deskripsi warnanya, tanpa melihat keseluruhan kanvas.
Wawancara: Dialog, Bukan Interogasi
Berapa kali sesi wawancara terasa seperti ruang sidang? Padahal, wawancara seharusnya menjadi proses saling mengenal. Saat HRD terlalu terpaku pada daftar pertanyaan kaku, peluang memahami nilai-nilai dan motivasi kandidat bisa terbuang sia-sia. Pendekatan humaniora mengajarkan bahwa mendengar---bukan sekadar menguji---adalah kunci untuk membuka potensi tersembunyi.
Inilah saatnya wawancara kerja berevolusi dari "tanya-jawab cepat" menjadi "obrolan bermakna".
Budaya Kerja: Rumah Kedua yang Harus Nyaman
Pernah merasa "salah rumah" setelah diterima kerja? Mungkin bukan karena gajinya kurang, tapi karena nilai-nilai pribadi bertabrakan dengan budaya perusahaan. Pendekatan humaniora menekankan pentingnya keselarasan antara individu dan lingkungan kerja. Ini bukan tentang "cari yang cocok dengan kita", tapi tentang bagaimana menciptakan ruang yang menerima dan mendukung keragaman manusia.