Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemiskinan yang Diwariskan: Menemukan Jalan untuk Memutus Rantai Tak Kasat Mata

25 Mei 2025   20:35 Diperbarui: 25 Mei 2025   20:35 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Screenshoot via KOMPAS 

Di sebuah dusun kecil di pinggiran kota, seorang anak lelaki berusia tujuh tahun berlari tanpa alas kaki menuju sekolah. 

Seragamnya telah lusuh, dan di dalam tas plastik bekas, ia membawa dua lembar buku usang serta sepotong roti basi. 

Namun matanya menyala---bukan karena lapar, tetapi karena harapan. Ia belum tahu bahwa sejak lahir, ia sudah mewarisi sesuatu yang berat: kemiskinan.

Kemiskinan bukan hanya tentang ketiadaan uang. 

Ia adalah akumulasi dari berbagai bentuk ketertinggalan---kurangnya akses terhadap pendidikan bermutu, layanan kesehatan yang layak, pekerjaan yang bermartabat, dan kesempatan untuk berkembang. 

Yang lebih memilukan, kemiskinan sering kali diwariskan. Bukan karena orang tua tidak peduli, tetapi karena sistem tidak memberi ruang bagi mereka untuk bangkit.

Rantai Tak Kasat Mata

Bayangkan seseorang yang lahir di keluarga miskin. Ia mungkin tumbuh dalam lingkungan yang minim fasilitas, penuh tekanan mental, serta terbatas dalam pergaulan sosial. 

Saat waktunya bersekolah, ia masuk ke sekolah yang kekurangan guru dan fasilitas. Ketika dewasa, ia menghadapi pasar kerja yang menuntut keterampilan yang tidak pernah diajarkan kepadanya. 

Akhirnya, ia pun menjadi bagian dari siklus yang sama, mewariskan keterbatasan itu kepada generasi berikutnya.

Inilah yang disebut sebagai kemiskinan struktural. Ia adalah belenggu tak kasat mata yang mencengkeram kaki anak-anak bangsa. 

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jika tidak dibarengi dengan pemerataan akses dan investasi pada sumber daya manusia, justru memperlebar jurang antara si miskin dan si kaya.

Mereka yang lahir di keluarga berkecukupan memiliki keunggulan sejak awal: pendidikan berkualitas, gizi seimbang, lingkungan yang mendukung, dan jejaring sosial yang luas. 

Sedangkan mereka yang lahir dari keluarga miskin, harus berjuang sepuluh kali lipat hanya untuk mencapai titik awal yang sama. Ini bukan tentang malas atau rajin. 

Ini tentang struktur dan sistem yang tidak adil.

Potensi yang Terkubur

Di balik statistik kemiskinan, tersembunyi jutaan potensi yang tak pernah tumbuh. Ada anak-anak jenius yang tidak pernah menyentuh komputer. 

Ada pemikir hebat yang harus putus sekolah demi membantu orang tua mencari nafkah. Ada calon pemimpin yang tak pernah mengenal ruang diskusi karena terjebak dalam lingkaran kerja kasar sejak remaja.

Setiap anak yang lahir ke dunia membawa kemungkinan. Tapi dunia sering kali hanya memberi kesempatan kepada mereka yang sudah berada di jalur cepat. 

Yang lainnya? Mereka harus membangun jalan sendiri, di atas tanah yang tak rata dan penuh duri.

Namun, sejarah membuktikan bahwa perubahan itu mungkin. Beberapa dari mereka yang terlahir dalam kemiskinan mampu membalik takdir. 

Mereka memutus rantai kemiskinan itu dengan kerja keras, ketekunan, dan sedikit keberuntungan. 

Tapi kisah sukses ini jangan dijadikan dalih untuk membiarkan sistem tetap timpang. 

Karena yang kita butuhkan bukan hanya cerita inspiratif satu dua orang, tetapi perubahan struktural agar setiap anak punya peluang yang sama untuk tumbuh dan berhasil.

Menanam di Ladang Harapan

Investasi terbesar bukan pada infrastruktur atau tambang, melainkan pada manusia. 

Negara yang ingin maju harus berani menanam di ladang harapan: pendidikan berkualitas untuk semua, layanan kesehatan universal, program gizi anak, pelatihan kerja yang relevan, serta kebijakan afirmatif bagi kelompok yang tertinggal.

Kita tidak bisa lagi menunggu anak-anak itu membuktikan diri terlebih dahulu. Kita harus lebih dulu percaya pada mereka. 

Karena keajaiban terjadi saat seseorang tahu bahwa dirinya dianggap penting. Bahwa ada orang dewasa yang peduli. Bahwa negara tidak tinggal diam.

Kebijakan yang mendukung keluarga miskin bukanlah bentuk belas kasihan, tetapi investasi jangka panjang. 

Ketika seorang anak miskin bisa mengakses pendidikan layak, ia akan tumbuh menjadi individu yang produktif. 

Ketika keluarga miskin diberi perlindungan sosial yang memadai, mereka punya ruang untuk bermimpi. 

Dan saat mimpi itu terwujud, seluruh bangsa akan menikmati hasilnya.

Memutus Rantai, Menulis Takdir Baru

Kita semua punya peran dalam memutus rantai kemiskinan yang diwariskan. 

Pemerintah, dunia usaha, lembaga pendidikan, komunitas, dan individu bisa menjadi bagian dari perubahan. 

Caranya bisa sederhana: mendukung gerakan literasi, menjadi mentor bagi anak muda dari latar belakang kurang mampu, menyumbang untuk beasiswa, atau sekadar membuka ruang diskusi yang sehat di lingkungan sekitar.

Lebih penting lagi, kita perlu mengubah cara pandang. Jangan lagi menyalahkan orang miskin atas kemiskinannya. 

Jangan ukur kemajuan hanya dari pertumbuhan ekonomi makro tanpa melihat siapa yang tertinggal. 

Jangan puja meritokrasi tanpa menyadari bahwa titik start setiap orang berbeda.

Harapan Itu Nyata

Anak laki-laki yang berlari ke sekolah di awal kisah tadi, bisa jadi akan menjadi guru yang mencerahkan ribuan murid di masa depan. 

Atau dokter di puskesmas terpencil. Atau wirausahawan sosial yang menciptakan lapangan kerja di desanya. 

Tapi semua itu hanya mungkin jika kita memberinya kesempatan.

Harapan bukan barang mewah. Ia adalah hak setiap manusia. Ia tumbuh dari kepedulian, kebijakan yang berpihak, dan tindakan nyata. 

Jika kita semua berjalan bersama, maka generasi mendatang tak perlu lagi mewarisi kemiskinan. 

Mereka akan mewarisi martabat, kebebasan, dan peluang.

Dan mungkin, kelak di masa depan, kita akan membaca kutipan di gambar itu bukan lagi sebagai peringatan, tetapi sebagai pengingat akan masa lalu yang telah kita ubah bersama:

"Tanpa investasi serius pada sumber daya manusia, pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan memperlebar jurang ketimpangan sosial yang ada."

Kini kita tahu: investasi pada manusia adalah satu-satunya jalan agar kemiskinan tak lagi menjadi warisan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun